“The more we claim to discriminate between cultures and customs as good and bad, the more completely do we identify ourselves with those we would condemn. By refusing to consider as human those who seem to us to be the most “savage” or “barbarous” of their representatives, we merely adopt one of their own characteristic attitudes. The barbarian is, first and foremost, the man who believes in barbarism.”
― Claude Lévi-Strauss, Race and History
Pembantaian terhadap empat jemaat anggota Gereja Bala Keselamatan di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, mungkin akan cepat dilupakan orang. Pihak kepolisan dan pemerintah menuduh pembantaian ini dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Tiga hari setelah kejadian, Menko Polhukam Mahfud MD bersama Panglima TNI dan Kapolri menggelar jumpa pers. Mahfud MD mengatakan bahwa “tragedi SIGI bukanlah perang suku, apalagi perang agama. Peristiwa ini dilakukan oleh kelompok kriminal yang bernama majelis Mujahidin Indonesia Timur yang dipimpin oleh Ali Kalora yang sama sekali tidak layak disebut mewakili agama tertentu.”
Pendapat Menko Polhukam ini menjadi argumen rutin yang terus menerus diulang sehingga orang percaya. Kekejaman ini direduksi menjadi sekedar kriminalitas. Sama seperti tindak kriminal di jalanan yang kita saksikan sehari-hari lewat media. Para penguasa ini berusaha menghapus bahwa pembantaian seperti ini adalah hal khusus, istimewa, dan perlu mendapat perhatian.
Pandangan yang sama diulang oleh ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sulawesi Tengah, Prof Dr KH Zainal Abidin M.Ag. “Kasus kekerasan berupa pembunuhan yang terjadi di Kabupaten Sigi, yang dilakukan oleh orang tak dikenal, tidak menyangkut atau berkaitan dengan agama apapun,” ujarnya kepada media.
Begitu?
Lewat sebuah pesan di WhatsApp saya melihat video pidato Ali Kalora yang mengancam akan membunuh siapapun, khusunya Banpol, yang membantu polisi dalam menghalangi kegiatan MIT. Bahasa yang dipergunakan penuh dengan simbol-simbol keagamaan. Jadi, hal yang mana yang tidak terkait dengan “agama apapun”?
Saya melihat foto-foto pembantaian dan pembakaran rumah termasuk gereja. Penguasa dan sebagian besar media berusaha untuk menutup-nutupi. Kecuali media-media kecil yang terbit di daerah. Mereka umumnya lebih jujur karena lebih bebas memberikan narasi yang sebenarnya.
Foto: Tagar/Screenshot YouTube Birgaldo To The Point
Satu pertanyaan saya ketika melihat kekejian itu. Bagaimana mungkin ini dilakukan oleh manusia? Ini jelas tidak biasa. Ini bukan kasus kriminal biasa. Mendudukkannya sebagai sebuah tindak kejahatan biasa sama saja dengan menormalkan kasus ini. Sebagaimana umumnya usaha menormalkan sesuatu, maka dibaliknya adalah usaha untuk menyembunyikan kekejiannya.
Dan yang patut diingat bahwa sasaran dari kekejian ini adalah warga Kristen yang minoritas di negeri ini. Kejadian ini tidak terlalu jarang terjadi. Setiap kali ada kejadian, setiap kali pula dilakukan penormalan. Pewajaran. Sehingga, ketika melihat kejadian seperti ini berulang, saya tidak lagi tertarik untuk memikirkan mengapa semua ini terjadi.
Saya lebih tertarik dengan persoalan mengapa orang sanggup membunuh dengan cara yang sedemikian keji? Mengapa harus membunuh dengan demikian keji, dengan memenggal kepala, memisahkan kepala dari badan?
Ini juga bukan kejadian pertama. Kalau kita ingat, ISIS di Irak dan Suriah, juga melakukan hal yang sama terhadap orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh. Dan biasanya kekejian ini dilakukan secara terbuka. Seakan dia menjadi statement (pernyataan).
Pemenggalan kepala adalah cara yang dipilih karena alasan-alasan strategis. Cara ini dipilih bukan karena ketiadaan senjata api seperti pistol atau senapan. Tetapi cara ini dipilih untuk memaksimalkan kekejian. Untuk memperlihatkan titik ekstrim dari kekejian itu.
Peradaban manusia mengenal senjata pembunuh yang bisa membunuh lebih massal. Dengan kata lain, ada alat pembunuh yang lebih efisien, yang bisa membunuh lebih banyak dan dalam waktu lebih singkat. Namun mengapa bukan alat pembunuh ini yang dipilih?
Alat-alat pembunuh massal modern diciptakan sesuai dengan keinginan manusia menjadi lebih manusiawi. Mesin-mesin ini membunuh lebih cepat dan efisien. Artinya, alat-alat ini membunuh dengan sedapat mungkin meminimalkan rasa sakit dari orang yang dibunuh. Sebisa mungkin alat-alat ini dipakai untuk mengurangi penderitaan orang dalam proses kematiannya.
Selain itu, tubuh mereka yang dibunuh pun masih akan terlihat utuh. Untuk kemanusiaan, ini adalah hal yang penting. Merusak tubuh manusia yang mati adalah kejahatan menurut norma moral manusia modern.
Pilihan strategis untuk merusak tubuh dan memakai peralatan seadanya (golok, parang, dan sebagainya itu) dipakai oleh kelompok-kelompok ini untuk memaksimalkan penderitaan. Kepala yang tercerai dari tubuh adalah juga usaha untuk memaksimalkan dampak. Jika kami mampu sekeji ini, maka bayangkanlah kekuatan kehendak kami untuk menghancurkan kalian. Itulah kira-kira statement yang ingin disampaikan.
Persoalannya adalah darimana datangnya kekejian semacam ini? Saya kira kita perlu melakukan perbincangan yang terbuka dan jujur. Bahwa kekejian ini bukan tindak kriminal biasa. Bahwa kekejian ini bukan sesuatu yang normal. Bahwa kekejian ini memiliki konsekuensi yang sangat besar untuk hidup bersama kita sebagai bangsa karena dia merobek-robek dasar hidup kita bersama. Bahwa pengingkaran dan penormalan atas kekejian ini adalah pengkhianatan terhadap kebangsaan kita.
Saya menemukan sedikit jawaban atas pertanyaan ini. Ia datang dari bukunya David Livingstone Smith, Less Than Human: Why We Demean, Enslave, and Exterminate Others. Dalam buku ini, Smith mengatakan bahwa untuk bisa memiliki kemampuan bertindak keji seperti ini para pelakunya harus memperlakukan dan melihat obyeknya (mereka yang dibantai) sebagai sesuatu yang bukan manusia. Mereka terlebih dahulu harus di-dehumanisasi. Mereka harus direndahkan derajatnya lebih rendah dari manusia.
Dari situlah datangnya kemampuan melakukan kekejian yang luar biasa. Sepanjang saya belajar konflik dan kekerasan, tidak sekali saya melihat kekejian seperti ini. Orang-orang Hutu di Rwanda membunuh orang-orang Tutsi dengan menganggapnya sebagai binatang. Orang-orang Yahudi yang dibantai saat Holocaust digambarkan sebagai hama (vermint) atau penyakit yang harus dibasmi.
Bahkan di Indonesia sendiri saya mendengar proses dehumanisasi seperti itu. Dalam pembantaian massal 1965, misalnya, banyak sekali cerita-cerita dari mulut ke mulut oleh pelaku yang mengatakan bahwa ketika membantai itu yang mereka lihat adalah babi. Juga, bukan suatu yang kebetulan dalam konflik etnis di Kalimantan bila orang-orang Dayak mengindentifikasi orang Madura dari bau, apakah orang yang dibaui itu beraroma sapi atau tidak. Bila berbau sapi maka dia layak untuk dibantai.
Tentu proses dehumanisasi itu sudah berlangsung lama. Ia tidak terjadi dengan seketika begitu saja. Dia melewati proses internalisasi yang memakan waktu panjang.
Jangan bayangkan bahwa proses ini berlangsung seseram wajah Ali Kalora. Kekejian ini tertanam dalam wajah orang-orang biasa, yang kita jumpai hidup sehari-hari kita. Dia ada di sekitar kita. Bahkan bukan tidak mungkin makan semeja dengan kita.
Filsuf Hannah-Arendt menulis laporan tentang pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem untuk majalah The New Yorker. Laporan ini terbit menjadi sebuah buku Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil. Eichmann adalah konseptor dari holocaust, sebuah usaha untuk memusnahkan orang-orang Yahudi dari muka bumi. Usaha itu dilakukan dengan kekejian yang luar biasa, mulai dari membiarkan mereka kelaparan, menjadikan mereka alat untuk eksperimen menemukan obat baru untuk mengatasi penyakit, hingga ke membunuh mereka dalam kamar gas dan membakar mayat-mayatnya dalam tungku khusus.
Foto: Adolf Eichmann
Jangan bayangkan Eichmann sebagai seorang bengis. Tidak sama sekali. Dia orang kalem luar biasa. Lagak lagunya seperti PNS yang penuh kehati-hatian dan hidupnya terfokus pada meniti karir. Dia bukan ideolog. Dia juga bukan orang yang fanatik. Dia membuat konsep pembantaian dan pemusnahan orang-orang Yahudi dengan kecermatan seperti seorang teknokrat membuat rencana kebijakan.
Itulah sebabnya Hannah-Arendt menyebutnya sebagai ‘setan yang teramat dangkal.’ Dia sama sekali tidak memperlihatkan diri sebagai setan. Sebaliknya, dia adalah seorang birokrat yang membosankan.
Hal yang sama saya dapati dari buku Christopher Browning yang menganalisis sebuah batalyon polisi cadangan Nazi Jerman, Batallion 101, yang bertugas di Polandia. Batalyon ini isinya orang-orang biasa saja: buruh pabrik, akuntan, pekerja kantoran, dan lain sebagainya. Mereka tidak pernah mengalami dunia kemiliteran sebelumnya. Mereka bahkan dalam kesehariannya tidak anti-Yahudi (anti-Semites).
Pada tahun 1942, mereka diterjunkan untuk menteror dan membunuhn orang-orang Yahudi di Polandia. Mereka membunuh semua orang Yahudi, tua-muda, laki-perempuan, kaya-miskin. Yang paling berat adalah mereka harus pula membunuh anak-anak.
Seharusnya, dalam situasi normal, orang-orang kelas pekerja dari Hamburg ini, mungkin akan menolak melakukan kekejian luar biasa ini. Namun, ketika dalam satu kesempatan, komandan mereka mengijinkan bagi siapa saja yang tidak tahan untuk keluar, hanya 12 dari 500 orang yang minta keluar dari unit itu.
Apakah yang penyebabnya? Browning dalam analisisnya menyebut faktor ketaatan kepada pimpinan (mirip dengan kesimpulan Arendt tentang careerism dari Eichman dalam the banality of evil) serta peer pressure atau tekanan psiko-sosial dari kawan-kawan satu kelompok di batalyon tersebut.
Semua hal ini mirip dengan apa yang terjadi di Sigi. Ali Kalora dan MIT-nya itu adalah hasil dari symptom kemasyarakatan yang lebih besar. Tidak terlalu heran bila perbuatan amat keji dari kelompok ini ditanggapi dengan diam. Tidak hanya dari kalangan Muslim. Bahkan banyak umat atau pemuka agama Kristen dan Katolik yang pura-pura tidak tahu dan memilih untuk diam ketika melihat kekejian seperti ini.
Kalau kita kembali kepada David Livingstone Smith yang disebut diatas, sangat banyak contoh dari proses dehumanisasi di sekitar kita. Ambil contoh penyebutan ‘kafir’ misalnya. Tidak banyak orang sadar bahwa pengucapan kafir, entah secara bisik-bisik di level pribadi maupun di depan umum, sesungguhnya adalah bagian dari proses dehumanisasi tersebut.
Si kafir tidak akan pernah menjadi manusia yang berderajat manusia sepenuhnya. Untuk orang kafir, hanya ada satu kepastian baginya yaitu menghuni ceruk neraka. Tidak akan pernah si kafir berbagi surga dengan mereka yang terberkati non-kafir.
Kalau Anda Muslim dan hidup di Indonesia, bayangkanlah posisi menjadi kafir. Bayangkanlah apa yang Anda alami ketika melihat kekejian yang dialami di Sigi itu. Bayangkanlah tubuh yang koyak seperti itu yang dalam ideologi kafir dan non-kafir akan menghuni neraka juga. Tidak perlu ada kesediahn untuk itu. Tidak perlu ada duka.
Disitulah proses dehumanisasi itu terjadi. Dan, harus kita akui, proses itu semakin kuat dalam masyarakat kita. Anak-anak kita belajar sejak dini untuk mengkafirkan mereka yang menyembah Tuhan dengan cara yang berbeda.
Ali Kalora tidak hidup sendirian. Ali Kalora dan gerombolannya memiliki support-system di negeri ini. Merekalah yang diam dan pura-pura tidak tahu.
Akar dari kekejian adalah dehumanisasi. Akar dari dehumanisasi adalah kesukarelaan kita mengkafirkan orang yang tidak sama dengan kita. Dan diam tak berkutik menghadapi kekejian. ***