Tentang Bau dan Para Babu
Secarik kertas dimasukan ke bawah pintu saya. Isinya pengumuman. Ada satu orang lagi terkena Covid-19. Tidak disebutkan di lantai berapa.
Surat itu memberitahu bahwa si penderita dijemput ambulans. Ia memohon semua penghuni waspada. Masker harus dikenakan dengan benar setiap keluar dari apartemen.
Foto: Pribadi. Salah satu apartemen di Jakarta.
Ini surat kedua yang disodorkan lewat pintu entah kapan. Surat pertama isinya juga pemberitahuan yang sama. Dua orang sudah kena Covid-19 di gedung ini. Waspada. Pakai masker kalau keluar. Jaga jarak.
Sore tadi saya harus keluar. Saya berusaha taat dengan apa yang namanya protokol kesehatan. Semua lengkap. Saya juga bawa tisu basah dan alkohol dalam botol kecil Saya suka wangi dari alkohol botol ini. Entah bunga apa itu.
Ketika saya masuk lift, rupanya sudah ada dua perempuan di dalam. Mereka adalah pembantu di lantai sebelah atas. Kelas menengah Jakarta masa kini menghaluskannya menjadi "Asisten Rumah Tangga" (ASN). Saya tidak tahu apakah gaji mereka juga mengikuti pasemon sebutan untuk mereka.
Saya tahu mereka pembantu. Jelas bedanya. Dari pakaiannya. Dari gerak tubuhnya. Dari wajahnya. Apakah pasti mereka pembantu? Mohon maaf, saya tidak bisa memastikan juga. Mungkin saja dia majikan dengan wajah yang kepembantu-pembantuan. Mungkin saja. Apa saja mungkin di dunia ini bukan?
Melihat mereka ingatan saya langsung terbang ke kumpulan cerita pendek Pramudya, "Tjerita dari Djakarta." Didalamnya ada beberapa cerita tentang pembantu. Cerpen yang saya maksud adalah "Mahluk di Belakang Rumah."
Pram bercerita tentang sumur yang kelihatan dari rumah petaknya. Aneh memang ada sumur bersama di depan rumah petak. Seperti yang bisa diduga di Jakarta pada tahun 1950an, mahluk apakah yang paling sering dijumpai sekeliling sumur kolektif itu? Ya, benar. Para babu.
Cerpen ini sesungguhnya tidak terlalu istimewa. Namun, entah mengapa saya menyukainya. Beberapa cerpen di kumpulan ini sangat membekas di kepala saya.
Karya-karya awal Pram menurut saya jauh lebih menggigit. Berlawanan dengan selera umum, saya tidak terlalu suka pada “Bumi Manusia.” Terlalu manis untuk Pram yang dulu sering bercerita tentang kegetiran-kegetiran keluarga dan manusianya.
Saya kerap membandingkannya dengan “Tjerita dari Blora,” “Keluarga Gerilya,” atau “Mereka yang Dilumpuhkan.” Tidak ada percintaan Annelies dan Minke disana. Tapi sudahlah. Ini soal selera dan saya bukan kritikus sastra.
Yang saya ingat dari cerpen itu adalah teriakan paling populer dari para majikan yang selalu marah-marah kepada babu-babunya, “Gua setrika perut luh!” Itu terjadi kalau baju belum disetrika, makanan belum siap, majikan-majikan kecil telat diceboki, dan sebagainya.
Mereka semua berdiam di rumah petak. Mereka adalah para priyayi kelas rendahan di sebuah kampung besar bernama Jakarta. Para priyayi ini dulunya juga berasal dari desa. Seperti para babu yang sekarang mengabdi pada majikannya, para priyayi ini adalah juga pengabdi. Karena ketekunan dan kesetiaannya menjadi pengabdi, mereka naik pangkat dari priyayi desa ke priyayi kota.
Salah satu dari pembantu itu adalah si Dua. Dia menadapat nama itu karena dia hanya bisa berhitung hingga angka dua. Lebih dari dua adalah misteri baginya. Angka tiga belas sudah menjadi galaksi lain untuknya. Apalagi jika dikurangi dengan lima.
Anak perempuan ini berumur tiga belas tahun. Dia sering menangis di sumur. Suatu hari dia menangis tiga jam lamanya sesudah dimaki dan dicubit oleh majikan kecil yang sudah belajar bertingkah priyayi pula. Akhirnya dia lari dari majikannya itu. Ketika ditemukan, dia menolak diajak pulang. Hanya satu jawabnya, “Biar gua ditubruk kereta api!”
Si Dua berhasil diajak pulang oleh majikannya. Mungkin dia dibujuk akan dipulangkan ke kampung. Sejak saat itu, dia tidak kelihatan.
Diakhir Pram sedikit bertanya-tanya seperti seorang analis. “Lama kelamaan tumbuhlah dalam pikiranku, bahwa moral babu priyayi ini termasuk juga dalam kesusilaan timur, kesopanan timur, seperti yang sering dipropagandakan oleh kaum seniman dan politisi. Cuma saja sering amat dilupakan, bahwa kesusilaan timur, kesopanan timur ini, tiada lain daripada suatu hal kecil yang dibesar-besarkan. Dan soal yang kecil itu adalah kesopanan dan kesusilaan priyayi,” tulisnya.
Cerita tahun 1950an itu tentu tidak atau sudah jarang terjadi sekarang. Orang sudah hidup di jaman dimana para babu menjadi pembantu dan dari pembantu menjadi asisten rumah tangga.
Mereka makan semeja dengan majikan. Beberapa minggu lalu saya makan pizza di satu restoran di sebual mall. Saya melihat wajah aneh di seberang saya. Satu keluarga dengan anak … … Sebentar. Ada ayah, ibu, dua anak, namun siapa mahluk ketiga berjilbab hitam, selalu menunduk, dan wajahnya masih remaja ingusan?
Ah, dia sang pembantu. Saya tahu itu ketika mereka selesai makan. Dia sigap mempersiapkan kereta dorong untuk si kecil yang berusia kira-kira tiga tahun.
Dan sekarang para pembantu pun punya daya tawar yang lebih tinggi. Itu yang saya dengar. Tidak ada lagi majikan yang berteriak, “Gua setrika perut luh!”
Foto: Protes menuntut pelolosan UU PRT. Tribunnews/Herudin. Menurut BPS, upah riil pembantu rumah tangga pada penghitungan Februari 2020 adalah Rp 419,139 per bulan.
Namun ada hal yang tetap sama. Di masa pandemi ini, para babu eh asisten rumah tangga, adalah manusia garis depan. Mereka adalah ‘essential workers.’ Sama seperti kelas pekerja yang mengandalkan tenaga fisik lainnya.
Saya mengamati para pembantu ini adalah penghubung para majikan dengan dunia luar. Merekalah yang melindungi para majikan yang ketakutan karena Covid. Sering saya lihat mereka melata di pasar belakang. Membeli sayur, tempe, lele, atau bahkan ayam potong. Mereka yang mengambil paket di gardu satpam di belakang. Mereka juga berjalan ke mal sebelah untuk membeli kopi kesukaan majikannya. Pendeknya, mereka adalah penghubung majikannya dengan dunia luar.
Di lift itu sore tadi saya berjumpa dengan dua dari mereka. Selama sepuluh bulan saya menghuni gedung ini, wajah mereka agaknya saya kenal. Namun keduanya menunduk. Agaknya mereka segan menyapa saya.
Dan saya pun tidak berminat menyapa. Bukan karena saya ingin mempertahankan posisi seperti majikan mereka. Bagaimana pun juga, saya sadar bahwa kelas sosial saya sama seperti majikan mereka. Paling tidak saya boleh bercelana pendek kemana saya suka. Sementara saya yakin mereka tidak punya privilese itu.
Saya tidak tahu harus bicara apa.
Lantai kami tinggi. Lift berjalan terseok-seok. Tiba-tiba saya mengendus bau teramat busuk. Kentut. Ini jelas kentut, kata saya dalam batin. Tiba-tiba baunya menjadi luar biasa.
Saya punya pengalaman bermain dengan kentut. Dalam pengalaman saya, kentut paling busuk adalah hasil fermentasi ketela rambat mentah di dalam perut. Ketika masih kecil, saya sering menjadi juara dalam lomba kentut busuk. Mainan anak-anak lelaki yang tidak terlalu sopan. Dan, saya adalah anak paling dakar dalam keluarga saya.
Tapi ini lebih dahsyat. Sepertinya ini adalah hasil fermentasi antara ketela rambat mentah dengan sambal setan campuran terasi dengan cabe rawit super pedas. Saya juga curiga, jangan-jangan kentut ini berampas pula.
Kedua manusia itu menunduk. Kadang yang satu memandang yang lain. Tinggal enam lantai lagi. Rasanya sebulan karena baunya yang demikian dahsyat. Semburan angin dingin AC dari lift tidak sanggup mengusirnya.
Namun entah kenapa, ditengah bau dahsyat itu, saya tersadar. Saya masih punya daya penciuman! Saya masih bisa membau. Saya banyak membaca soal Covid. Cara paling mudah mengenalinya adalah kalau kita kehilangan penciuman dan kehilangan daya mencecap.
Ah, saya lega. Saya lihat dua wajah itu. Masih menunduk. Mereka kelihatan kuatir. Saya ingin berterima kasih pada mereka. Paling tidak hasil fermentasi perut mereka menjadi tes awal, saya baik-baik saja.
Lift terbuka. Saya keluar dengan lega. Tidak saja karena udara yang tanpa bau. Tapi karena tahu bahwa saya masih sehat. ***