Cyrus Habib: Rising Star Politik Amerika, Calon Novis Jesuit
Dia buta. Kanker retinoblastoma membuat dia kehilangan retina mata kirinya sejak dia umur tiga tahun. Dokter dan orangtuanya tahu bahwa dia akan buta. Mereka berusaha mempertahankan agar dia bisa melihat selama mungkin. Pada usia delapan tahun kanker merenggut retina mata kanannya. Dia buta total.
Namun dia mengatasi kebutaannya dengan determinasi. Dia belajar huruf Braille. Membaca atau mendengarkan banyak buku. Ini semua atas jasa orangtuanya. Ibunya tidak ingin dia dibedakan dengan anak-anak lain. Pernah satu hari ibunya bergegas ke sekolah karena melihat anaknya tidak boleh bermain di lapangan karena guru-gurunya takut dia menabrak sesuatu. Ibunya akhirnya menjelaskan denah lapangan bermain itu kepada anaknya. Lalu dia berkata kepada guru-gurunya, tangan yang patah bisa disembuhkan, tapi jiwa dan semangat yang patah akan tinggal seumur hidup.
Dia berhasil. Setelah SMA, dia diterima di Columbia University di New York City dan belajar Sastra Perbandingan dan Studi Timur Tengah. Guru-gurunya antara lain adalah Edward Said dan Jacques Derrida.
Dia pernah mendapat Rhodes Scholarship yang sangat prestisius itu. Beasiswa ini umumnya didapat oleh mereka yang ingin terjun ke politik. Dari sana dia diterima di Yale Law School, salah satu sekolah hukum terbaik di Amerika Serikat. Bill dan Hillary Clinton tamat dari sekolah ini.
Karir politiknya semakin naik. Dia pernah bekerja untuk Senator Hillary Clinton sebelumnya. Itulah yang membuat dia mengenal dan dikenal di kalangan partai Demokrat di Amerika. Karirnya politiknya semakin cemerlang ketika pada usia 35 tahun dia menjadi Letnan Gubernur (sebutan untuk Wakil Gubernur di Amerika) di negara bagian Washington, kampung halamannya.
Saya bercerita tentang Cyrus Habib, seorang buta yang pertama kali menjadi Letnan Gubernur. Karir politiknya sangat moncer. Disamping masih sangat muda, dia punya harapan sangat besar untuk menjadi gubernur. Bukan tidak mungkin karir politik yang lebih tinggi di Washington DC.
Seharusnya pada bulan November depan dia menghadapi pemilihan kembali. Negara bagian Washington adalah negara bagian biru, artinya negara bagian Partai Demokrat. Kemungkinan sangat besar dia akan terpilih kembali mendampingi Jay Inslee.
November depan adalah juga pemilihan presiden Amerika. Jika Joe Biden menang, maka ada kans yang sangat besar Jay Inslee akan ditarik ke Washington untuk menjadi salah satu menteri di kabinetnya. Dan, konsekuensinya, Cyrus Habib akan menjadi gubernur. Perhitungan di atas kertas ini sangat mungkin menjadi kenyataan.
Dia adalah "the rising star" Partai Demokrat. Riwayat hidupnya sangat pas untuk Amerika karena dia melambangkan seseorang yang bekerja keras untuk mencapai cita-citanya ditengah segala keterbatasannya. Orang Amerika selalu percaya bahwa negerinya adalah ‘land of opportunity.” Lebih lagi, Cyrus Habib adalah keturunan migran. Orangtuanya berasal dari Iran dan beremigrasi ke Amerika.
Hingga disini, semua cerita keberhasilan Cyrus Habib selesai. Dia hanya sejengkal lagi mraih kursi gubernur. Dan dari sana bisa menggapai apa saja yang dimauinya. Tanpa itupun dia sudah menjadi selebriti politik Amerika.
Namun pada bulan Februari lalu, dia membuat pengumuman yang mengejutkan jagat perpolitikan Amerika. Dia mengumumkan bahwa dia tidak akan maju ke pemilihan bulan November mendatang. Dia memutuskan untuk memulai hidup baru sebagai seorang novis (pemula) untuk Ordo Serikat Yesus yang biasa dikenal dengan nama Jesuit.
Banyak orang bertanya-tanya: Menjadi Jesuit disaat puncak karir dimana segalanya tampak dalam jangkauan? Menjadi imam Katolik ditengah-tengah skandal seskual yang melanda gereja? Mengapa membuang semua kehormatan, kemuliaan, dan gemerlap dunia untuk sebuah hidup yang mengharuskan ketaatan, kemiskinan, dan selibat?
Habib mengaku bahwa dia mengalami kegelisahan saat ayahnya meninggal. Dia membutuhkan hidup yang lebih spiritual. Kepada jurnalis New York Times, Frank Bruni, dia mengaku bahwa dia mulai mempertanyakan hidupnya ketika dia berjumpa dengan agen kepenulisan di New York yang hendak menerbitkan biografinya.
Biografi adalah bagian penting dari politik. Disanalah politisi mulai membangun narasi tentang dirinya. Namun untuk Habib, persis ketika itulah dia mulai mempertanyakan hidupnya. Dia mempertanyakan kultur selebritas dalam politik Amerika. Benarkah ini untuk dirinya?
Dari sanalah dia mulai menghadapi konversi. Dia mempertanyakan hidupnya. Dia membutuhkan sesuatu yang lebih spiritual. Dia mengaku mendapatkan bimbingan rohani ketika mengunjungi Katedral St. James di Seattle ketika ayahnya meninggal. Disana dia diperkenalkan pada buku karangan James Martin, SJ, seorang Jesuit liberal, yang berjudul, “James Martin, a Jesuit writer and academic titled “The Jesuit Guide to (Almost) Everything.”
“Dari sana, dari titik nadir itu, saya mulai mengkaji kembali dan berpikir ulang, apakah ini semua yang membuat saya bahagia?” katanya kepada harian The Seattle Times. Dia kemudian berjumpa dengan banyak orang yang mengandalkan kekuatannya dari hidup spiritual. Dia juga bertemu dengan Dalai Lama. Dia merasakan adanya kesucian dari seseorang yang merasa damai dengan dirinya. Sangat berbeda dengan yang dia geluti dalam politik.
Dunia memang tidak asing dengan konversi semacam ini. Pada abad 16, seorang perwira militer bernama Íñigo López de Loyola juga mengalami konversi yang sama. Dia adalah seorang yang ambisius. Namun dia terluka dalam pertempuran. Ketika beristirahat menyembuhkan diri itulah dia memperoleh vsisi baru tentang hidupnya setelah membaca buku De Vita Christi dari Ludolph of Saxony. Dia kemudian menjadi imam dan mendirikan Kongregasi Serikat Yesus. Dialah Ignasius Loyola.
Cyrus Habib baru mulai. Saya tidak tahu apakah dia akan berhasil. Hidup menjadi imam itu berat. Hidup spiritual itu, jika dijalankan dengan konsekuen dan konsisten, sangat berbeda dengan hidup sehari-hari kita. Habib bercerita kepada Frank Bruni bagaimana ketika dia mengunjungi Novisiat di California. Dia diberikan jadwal harian dan salah satunya adalah membersihkan lantai. Tiba-tiba dia datang dengan ide cemerlang, “Mengapa saya tidak menyumbang Rumba (robot pembersih) saja kepada rumah Novisiat ini sehingga ada waktu untuk mengerjakan hal-hal lain selain membersihkan lantai?”
Idenya langsung ditolak. Bukan itu maksudnya dari membersihkan lantai. Itu harus dikerjakan dengan tangan dan badan. Karena membersihkan lantai adalah bagian dari laku spiritual.
Jalan menuju imamat itu panjang dan terjal. Untuk menjadi seorang Jesuit, sesorang butuh menjalani segala macam pendidikan dan refleksi antara 10-13 tahun. Bahkan untuk menjadi imam diosesan dibutuhkan waktu minimal 8 tahun. Periode ini adalah periode studi, refleksi, dan melatih diri secara fisik dan rohani. (Lamanya masa pendidikan dan refleksi ini membuat saya bertanya-tanya, mengapa para pedofil dan predator seksual bisa masuk menjadi imam? Apa yang salah?)
Hingga tahap ini, Habib sesungguhnya baru mulai. Di Novisiat, dia akan mendalami lagi pertanyaan-pertanyaan dan tujuan hidupnya. Benarkah dia terpanggil? Dia bisa saja berhenti ditengah jalan dan kembali ke dunia lamanya, yaitu politik. Namun, apapun keputusannya, saya yakin, dia akan menjadi manusia yang lebih baik. ***