Daniel Dhakidae: Wakil Sebuah Generasi Intelektual
Seingat saya, itu pertama dan terakhir saya berkunjung ke gedung itu. Saya hendak menemui seseorang di bagian Litbang. Dia adalah Daniel Dhakidae.
Kami sudah janjian. Jadi saya tidak kesulitan memasuki gedung megah yang dijaga ketat oleh Satpam itu. Saya menemui dia untuk meminta rekomendasi untuk belajar ke Cornell.
Kami pernah bertemu beberapa kali sebelumnya di Jogja. Kebetulan dia adalah salah seorang pendiri DIAN/Interfidei, sebuah lembaga dialog antar-agama. Lembaga ini sering mengadakan diskusi. Pada jamannya, Dian/Interfidei termasuk lembaga diskusi paling serius di Jogja.
Para intelektual -- atau siapa saja yang ingin diaku sebagai intelek – menyempatkan diri hadir dalam diskusi-diskusi di lembaga ini. Para pendirinya adalah intelektual papan atas Indonesia.
Bang Daniel, begitu saya menyebutnya, tidak keberatan untuk menulis surat rekomendasi untuk saya. Seperti biasa, wajahnya ceria, diiringi gelak tawanya yang khas. Lagu bahasa Indonesianya dengan logat Flores kental itu sangat saya sukai. Saya hapal betul dengan gaya bicara orang Flores karena pergaulan saya sejak kecil dengan orang-orang Flores.
Foto: Youtube/Sorge Magazine
Pada akhirnya, apa yang menyatukan kami adalah kota kecil Ithaca, di daerah pegunungan New York, dimana universitas Cornell terletak. Kalau kami ketemu tentu saja bahan pembicaraan yang selalu hadir adalah gossip tentang para professor. Kebetulan beberapa professor Daniel juga masih mengajar saya.
Ada satu professor yang selalu jadi bahan pembicaraan. Dia terkenal brengsek karena tidak menyukai mahasiswa yang kurang cakap berbahasa Inggris. Tentu saja mahasiswa Indonesia atau Asia pada umumnya tidak bisa melafalkan kata-kata Inggris dengan baik. Atau tidak bisa berbahasa dengan tata bahasa yang baik.
Professor itu pernah mengusir salah satu mahasiswa Indonesia karena dianggap tidak bisa omong Inggris. Saya pun pernah mengalami hal pahit seperti itu walaupun tidak dikeluarkan dari kelas. Saya cukup dihina selalu di depan kelas saja. Untungnya, saya tidak cakap berbahasa Inggris dan saya tidak tahu bahwa apa yang dia ucapkan adalah hinaan.
Kami semua mengalami betapa sulitnya mengungkapkan pikiran dalam bahasa Inggris. Seorang kawan kelas Daniel, yang kemudian juga menjadi kawan saya, pernah bercerita bahwa kalau Daniel omong di kelas, tidak seorang pun mengerti. Betul dia menguasai bahasa Jerman (dan juga Latin dan Inggris). Namun itu justru yang menjadi soal. Tidak ada orang mengerti bahasa Inggris dengan logat Indonesia.
Tapi Daniel adalah mahasiswa cerdas. Dia lulus dengan baik. Bagian dari disertasinya yang selalu saya ingat adalah pembukaannya. Dia memulai disertasinya dengan sebuah “Confession” atau pengakuan dosa. Saya pernah berpikir untuk menyamakannya dengan Confession-nya Tolstoy.
Dalam pembukaan itu, dia menelusuri perjalanan intelektualnya berhadapan dengan dua penguasa. Yang pertama adalah penguasa yang mengaku sebagai wakil Tuhan di dunia. Tentu itu adalah birokrasi gereja Katolik. Yang kedua adalah penguasa dari dunia pengetahuan yang profan, yakni dunia academia.
Daniel selalu berbenturan dengan kekuasaan. Dia dikeluarkan dari seminari karena mengorganisasi sebuah seminar untuk mereformasi pendidikan imam-imam Katolik. Dia mendapat kesulitan untuk mempertahankan skripsinya di UGM bukan karena dia tidak mampu menulisnya. Dia harus memperlihatkan bahwa dia memiliki ijin penelitian. Tentu saja, dia tidak punya dan tidak mau mengurusnya.
Diluar kedua institusi itu, tentu saja Daniel berbenturan dengan kekuasaan negara. Dia pernah diinterogasi berjam-jam karena tidak memberikan jawaban sesuai arahan jaksa dalam kasus Sjahrir, seorang ekonom yang dituduh oleh pemerintah Orde Baru terlibat Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974).
Daniel kemudian menjadi redaktur Prisma. Hingga satu saat dia mendapat undangan untuk belajar ke universitas Cornell. Ketika datang ke Cornell pertama kali, kesannya adalah hijau sekali. Iya, karena dia datang saat musim panas, saat dimana kampus Cornell sedang indah-indahnya.
Daniel berhasil menyelesaikan studinya di Cornell dengan baik. Dia menulis disertasi tentang perjalanan pers Indonesia menjadi sebuah industri. Pembimbingnya, Ben Anderson, merayunya untuk menerbitkan disertasi itu. Kabarnya Cornell University Press sudah bersedia untuk itu. Namun entah mengapa disertasi itu tidak pernah terbit sekalipun di Indonesia dia beredar luas dalam bentuk fotokopian.
Tidak perlu dibantah bahwa Daniel adalah orang pemikir. Dia senang berpikir dalam-dalam. Dia membaca banyak filsafat. Itu memudahkannya ketika masuk ke dalam ilmu-ilmu sosial. Warna filsafat, dengan jejak seminarian, sangat kental mewarnai caranya berpikir. Saya pernah berpikir bahwa Daniel agak beruntung masuk ke Department of Government pada tahun 1980an ketika ilmu politik belum se-empirik sekarang. Ketika pikiran-pikiran spekulatif masih dihargai dan pembuktian masih agak longgar.
Untuk saya Daniel mewakili sebuah generasi intelektual Indonesia. Dia adalah generasi yang lahir sesudah kemerdekaan. Generasi itu adalah generasi peralihan. Jejak-jejak sistem pendidikan kolonial masih ada. Guru-guru masih dalam ‘cadaver discipline’ dalam menegakkan otoritasnya dalam kelas. Selain itu, Daniel juga besar dalam asuhan sistem pendidikan Gereja Katolik (seminari) yang memberikannya dasar dan berpikir filosofis.
Kedua sistem ini sangat menekankan pada otoritas. Di kelas guru-guru seringkali hadir dengan rotan atau penggaris. Sementara di seminari, guru-guru adalah para pater yang, seperti namanya, sangat paternalistik.
Sistem itu pendidikan itu tentu saja menantang orang seperti Daniel. Tidak heran jika dia melawannya. Di UGM itu dilakukan dengan tidak mengurus ijin penelitian, misalnya.
Dari sisi usia, Daniel sepantaran dengan Th. Sumartana, Nurcholish Madjid, Ignas Kleden, Sjahrir, Rahman Tolleng, Gunawan Moehammad, Johan Effendi, Arief Budiman, dan masih banyak lagi. Sekalipun tidak sama umur, mereka berasal dari satu generasi dan punya pengalaman generasional yang mirip.
Nama-nama diatas dikenal intelektual. Mereka menjadi intelektual karena kemampuannya menelaah dan mencandra berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Daniel sangat tertarik dengan dunia intelektual itu sendiri. Dia menulis sebuah buku tebal tentang peranan intelektual dan hubungannya dengan kekuasaan.
Dia menyoroti peranan intelektual dalam membentuk kekuasaan. Daniel memiliki ideal tersendiri terhadap intelektual dengan peranan dalam masyarakat. Dalam hal ini, dia mirip Arief Budiman yang melihat intelektual dan kaum cendekiawan seperti seorang “Resi,” yang mengasingkan diri dari hidup sehari-hari masyarakat dan turun gunung ketika masyarakat memerlukannya.
Daniel dan generasinya hidup dalam jaman Orde Baru dimana kebebasan sangat dikekang. Dalam situasi itulah, hal yang paling mungkin dilakukan adalah berpikir dalam-dalam. Ketika aktivisme dihadapi dengan peluru maka satu-satunya pelarian adalah melakukan kerja otak karena jauh lebih sulit untuk dikontrol.
Ada masanya ketika kerja otak ini membuah hasil yang sangat cemerlang. Daniel Dhakidae membuktikannya dengan Majalah Prisma, yang pada tahun 1980-1990an menjadi benchmark pemikiran di Indonesia. Tulisan-tulisan berbobot lahir dari media ini.
Peranan media semacam Prisma ini surut ketika mulai muncul perlawanan-perlawanan terhadap rejim Orde Baru. Memang peranan pemikir ini masih diidealisasi pada tahun 1990an. Kompas, media paling besar Indonesia saat itu, bahkan membuat Forum Indonesia Muda untuk “mencetak” intelektual-intelektual muda. Seakan mencetak kaum intelektual semudah mencetak koran.
Namun keadaan berubah pada awal tahun 90an. Generasi baru aktivis muncul. Mereka melawan lebih frontal dan lebih serius terjun ke lapangan. Mereka hidup di kantong-kantong buruh dan kaum miskin kota dan bermimpi melakukan revolusi sosial.
Tidak mengherankan bila kedua jenis aktivisme ini bentrok tajam. Para aktivis kelompok diskusi mendapat beasiswa belajar keluar negeri. Para aktivis revolusi mendapat beasiswa di penjara.
Generasi Daniel Dhakidae berada di kedua kaki ini. Beberapa dari mereka pernah ditindas oleh Orde Baru dan masuk penjara. Namun mereka juga tidak dapat menomorduakan berpikir sebagai sebuah moda untuk melawan. Saya kira, Daniel berada persis di titik ini. Sekalipun dia tidak tertarik untuk mengorganisir perlawanan, dia tetap menyokongnya dengan pikiran-pikiran yang tajam.
Dalam hal ini, saya kira menarik untuk melihat posisi Daniel dan membandingkannya dengan dua alumni Cornell yang lain yang juga dikenal sebagai intelektual publik, George Aditjondro dan Dede Oetomo. George Aditjondro memulai karirnya sebagai seorang aktivis. Dia memakai kekuatan intelektualnya untuk mempengaruhi publik. Itulah aktivisme George.
Sementara Dede Oetomo memulai dengan dunia berpikir. Dia menjadi guru (dosen). Namun setelah menyelesaikan studinya di Cornell, Dede tidak sekedar menjadi guru. Dia memakai kekuatan intelektualnya untuk mengorganisasi kaum pinggiran. Dede pernah bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Selain itu dia juga mendirikan dan mengasuh gerakan Gaya Nusantara.
Sementara, Daniel berusaha untuk tetap berada pada level pemikiran. Dia tidak tertarik menerjemahkan kekuatan inteleknya untuk melakukan mobilisasi massa. Dia memilih jalan lebih sunyi: meriset, menulis buku, dan kemudian kembali mengasuh Prisma. Dia juga aktif di beberapa lembaga masyarakat sipil.
Saya kira Daniel lebih memilih untuk memakai kekuatan intelektualnya untuk berbicara kepada orang dan anak-anak muda yang tertarik pada dunia berpikir. Dia berusaha keras agar generasi selanjutnya mampu melakukan analisis terhadap masayrakatnya dengan baik. Dalam hal ini, Daniel adalah seorang guru. Perannya sangat mirip dengan peranan guru-guru Flores tahun 1970an yang dikirim mendidik anak-anak dimanapun di Indonesia ini.
Ada persamaan diantara ketiga alumnus Cornell ini. Mereka sama sekali tidak dekat dengan kekuasaan. Mereka sangat kritis dan hampir selalu berseberangan dengan kekuasaan. Mereka juga tidak tertarik menjadi abdi rejim manapun.
Generasi Daniel secara perlahan sedang lengser. Satu per satu kita dengar mereka meninggalkan kita semua.
Dunia juga sedang berubah. Dunia intelektual Indonesia juga berubah. Kita menghadapi dunia baru. Sekarang dunia intelektual publik kita memang tidak didominasi oleh orang-orang yang berpikir mendalam seperti Daniel.
Saya sendiri melihat bahwa intelektual publik Indonesia berkembang cukup pesat. Hanya saja pusatnya tidak lagi pada institusi-institusi tradisional seperti universitas dan tidak menulis di jurnal-jurnal ilmiah.
Intelektual publik adalah seorang pemikir yang berbicara langsung kepada publik, melihat problem yang tidak dilihat orang kebanyakan, dan mengajak orang untuk berpikir untuk mencari jalan keluar dari masalah itu. Seorang intelektual publik memang tidak harus mencari jalan keluar dari masalah-masalah kemasyarakatan. Itu tugas kaum pembuat kebijakan, teknokrat, atau akademisi.
Kita melihat banyak intelektual publik di sekitar kita. Mereka lahir dari beragam profesi: arsitek, pembuat film, talk-show hosts, atau tentu saja penulis-penulis yang makin kreatif dan banyak membaca.
Sudah tidak jamannya kaum intelektual hanya menjadikan perbincangan serius dan mendalam hanya sekedar sebagai intellectual exercise belaka. Ia tidak harus menjadi privilese kaum baca buku saja. Intelektualisme sekarang menjadi bagian dari kebudayaan pop.
Ia menjadi massal dan bisa diakses siapa saja tanpa harus paham hal-hal yang mendasar. Dan yang lebih penting lagi, dunia intelektual sekarang tidak lagi disertifikasi dengan ijazah PhD. Sementara di sisi lain, institusi berpikir seperti universitas dan academia sekarang semakin menjadi professional, birokratis, dan yang paling penting menjadi sebuah industri.
Konsekuensinya adalah kemampuan mencandra masalah kita menjadi semakin dangkal. Dunia intelektual semakin mudah jatuh ke dalam narsisisme. Belum lagi partisipasi bermacam self-intellect yang menelan mentah-mentah semua data palsu hanya untuk mempromosikan diri.
Saat ini menjadi intelektual publik jauh lebih berat. Pemikir diharuskan bekerja secara cepat saji (instant), analisis menjadi lebih dangkal, filsafat menjadi kemewahan, serta hal-hal tidak praktis menjadi tidak berharga.
Ancaman para intelektual publik yang berpikir serius saat ini bukan lagi kekuasaan negara atau politisi. Saingan terberat dari intelektual publik saat ini adalah kekuatan massa dari cara berpikir instan yang self-centered dan narsistik. Dibalik kekuatan massa ini ada kekuatan oligarkis yang memiliki kemampuan memanipulasi yang sangat besar.
Dunia ini rumit. Memahaminya tidak semudah membaca bahan-bahan dari internet. Diperlukan metodologi untuk mengumpulkan informasi (data) dan memverifikasinya. Juga diperlukan keahlian untuk menafsirkannya serta meletakkannya dalam konteks.
Dalam hal inilah, saya kira, kita sangat memerlukan intelektual publik macam Daniel Dhakidae. Yang berpikir secara mendalam dan secara hati-hati menafsirkan keadaan sosial dalam masyarakatnya. Yang rela mengasah diri dan menghabiskan umur untuk menelusuri teks-teks akademis hingga mencapai keahlian tertentu.
Saya mengibaratkan Daniel Dhakidae sebagai seorang pandai besi. Tidak akan mungkin tercipta pisau yang tajam, kuat, elegan, dan indah tanpa ada keahlian dibaliknya. Keahlian itu tidak bisa didapat secara instan. Dia diperoleh dengan cara mengasah ketrampilan, mencoba dan gagal, menemukan cara terbaik untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik.
Pandai besi yang buruk, yang tidak terampil dan tidak ahli hanya akan menghasilkan pisau yang buruk pula. Dia mungkin kelihatan tajam. Namun begitu dia dipakai menetak kayu, pisaunya akan ambyar dan bukan tidak mungkin serpihannya akan mencolok mata Anda!
Bang Daniel Dhakidae, selamat jalan! Terima kasih atas sumbangan Anda. Semoga semua kenangan yang baik tentang Anda menjadi inspirasi bagi kami yang masih ada di dunia ini. ***