Hampir bisa dipastikan bahwa Ferdinand "Bong-Bong" Marcos, Jr. akan menjadi presiden Filipina untuk masa jabatan enam tahun ke depan. Konstitusi Filipina mengharuskan jabatan presiden hanya satu kali enam tahun. Presiden yang sekarang Rodrigo Duterte tidak bisa dipilih lagi.
Namun Duterte tidak hilang dari politik Filipina. Putrinya, Sara Duterte, tampaknya akan terpilih menjadi Wakil Presiden negeri itu. Dalam sistem Filipina, presiden dan wakil presiden dipilih terpisah.
Itulah sebabnya ada kemungkinan bahwa presiden dan wakilnya tidak akur. Seperti yang terjadi sekarang, wakil presiden Leni Robredo seringkali tidak sejalan dengan Presiden Duterte. Pada tahun 2019, Duterte memecat Robredo dari jabatan sebagai Ketua Bersama Komite Antar-Lembaga Anti-Narkoba (Inter-agency Committee on Anti-Illegal Drugs). Ini karena Leni Robredo mengkritik keras kebijakan anti-Narkoba Duterte, yang mengakibatkan pembunuhan massal tanpa prosedur hukum.
Ribuan orang yang diduga sebagai bandar dan pemakai narkoba, dibunuh dan mayatnya ditinggal di jalan-jalan. Untuk orang Indonesia, ini mengingatkan pada ‘pembunuhan misterius’ (Petrus) yang dilakukan Suharto pada tahun 1982. Duterte diancam akan diadili di Pengadilan HAM intersional karena pembunuhan sewenang-wenang ini.
Ferdinand 'Bongbong" Marcos Jr. (64 tahun) mengalahkan Leni Robredo, sang wakil presiden sekarang, dalam Pilpres Filipina kemarin. Banyak orang, termasuk saya, berusaha mencerna mengapa orang dari keluarga yang pada tahun 1986 dijungkalkan dari kekuasaan lewat revolusi "People Power" bisa kembali berkuasa dan berjaya?
Saya masih ingat dengan jernih revolusi yang menggulingkan Marcos itu. Ferdinand Marcos, Sr. adalah presiden yang kejam. Ia mulai berkuasa tahun 1965. Ketika jelas bahwa kekuasaannya akan terjungkal, dia mengumumkan keadaan darurat (martial law) dan dengan kejam menggilas lawan-lawannya, menculik dan membunuh siapa saja yang tidak tunduk pada kekuasaannya. Ini mungkin dilakukan karena dia menguasai tentara dan polisi.
Namun bukan kekejaman itu yang melekat diingatan banyak orang. Yang terpatri adalah 3,000 lebih pasang sepatu yang dimiliki oleh Imelda Marcos, istri sang Presiden, yang kala itu adalah juga Gubernur Metro Manila. Selain sepatu, Imelda juga mengoleksi pakaian-pakaian dari desainer-desainer terkenal dunia. Ketika ditemukan, pakaian-pakaian itu masih berlabel. Rupanya ia tidak pernah dikenakan. Hanya dikoleksi.
Filipina bukan negara kaya. Masyarakat internasional hingga saat ini masih ingat akan kekuasaan korup (kleptokratik) dari Marcos. Bukti-bukti sangat kuat bahwa dia melarikan kekayaan negerinya dan menyimpannya di bank-bank Swiss dan dibanyak negara lain.
Mungkin banyak orang bertanya, bagaimana mungkin dinasti politik yang pernah berstatus pariah bisa bangkit kembali dan berkuasa?
Ada banyak jawaban. Yang pertama tentu saja adalah dari sisi struktur politik. Beberapa ahli ilmu politik mengatakan bahwa kekuasaan di Filipina diatur oleh dinasti-dinasti politik. Ada juga yang mengatakan bahwa apa yang terjadi di Filipina adalah bentuk dari "bossisme." Ada juga anggapan bahwa Filipina tidak bisa eksis tanpa orang kuat. Demokrasi yang berkembang di Filipina adalah 'demokrasi Cacique' atau demokrasi yang dikuasai oleh bos-bos lokal.
Ferdinand “Bongbong” Marcos, Jr. (64 tahun). Sumber: Reuters
Mengapa ini terjadi? Para ahli menunjuk pada perjalanan Filipina menjadi sebuah negara. Sejak 1521, Filipina berada dalam kekuasaan Spanyol. Penguasa colonial Spanyol mendelegasikan kekuasaannya pada gereja Katolik. Ordo-ordo imam Katolik menguasai tanah dan mengembangkan pertanian beserta pasarnya. Kalau di Hindia Belanda pasar komoditi dikuasai VOC, di Filipina dikuasai gereja. Keduanya menjadi kaya raya. Namun ada beda yang besar yakni bahwa gereja juga memperkenalkan pendidikan. Hingga akhir kekuasaan Spanyol, 5% penduduk bisa berbahasa Spanyol. Tentu sebagian besar mereka adalah golongan Mestizo, golongan peranakan hasil kawin silang – entah sah atau lewat perselingkuhan – antara orang-orang Spanyol dengan orang-orang pribumi.
Kekuasaan Amerika Serikat menggantikan Spanyol pada 1898. Amerika memperkenalkan sistem pemilihan umum kepada Filipina. Tahun 1902, jabatan gubernur sudah dipilih. Beberapa tahun kemudian, pemilihan diperluas ke dewan-dewan legislative. Sejak saat itulah, kelas terdidik dalam sistem Spanyol mulai menguasai politik. Berbarengan dengan itu, mereka mengakuisisi tanah-tanah yang dikuasai oleh gereja. Sistem pemilihan menghasilkan oligarki, dan oligarki dikekalkan lewat dinasti.
Karena Filipina tidak memiliki sistem feudal, dinasti ini menjadi semacam feodalisme baru. Penguasa di negeri ini berasal dari dinasti-dinasti yang beruratakar di daerah-daerah. Mereka “menangkap” (capturing) negara Filipina modern, mengesktrasi sumber dayanya, dan mempergunakannya selain untuk memperkaya juga untuk membeli para pengikut. Inilah demokrasi yang berbasis “caciquismo” atau para bos lokal.
Para caciques berkuasa di satu wilayah tertentu. Mereka menguasainya secara turun temurun. Penduduk di wilayah yang mereka kuasai dibikin tergantung dan merasa beruntung karena kekuasaan mereka. Seringkali, para caciques memberikan manfaat kepada publik di wilayahnya (pork barreling) yang mereka ambil dari negara. Mereka yang sedari awal memang sudah kaya, menjadi bertambah kaya, sangat berkuasa, sementara penduduk yang mendukungnya juga tidak mengalami kerugian apa-apa. Atau paling tidak, mereka merasa bahwa penguasa mereka berhak mendapat kehormatan dan kekuasaan karena mereka sudah memberikan mereka sesuatu sekalipun itu hanya remah-remah yang diambil dari negara.
Dari sinilah kita bisa mengerti daya tahan dinasti seperti Marcos. Dinasti ini berkuasa di Provinsi Illocos Norte, yang terletak di tengah Pulau Luzon, pulau terbesar di Filipina. Wilayah ini adalah wilayah kekuasaan Dinasti Marcos. Apa saja yang bernama belakang “Marcos” akan menang di kotak suara pemilihan. Imelda Marcos yang terkenal sangat korup itu bahkan bisa menjadi anggota parlemen nasional sekembalinya dari pelariannya di Hawaii. Dia tetap mendapat dukungan pemilih di Provinsi Ilocos Norte.
Bongbong digambarkan sebagai ksatria dengan kuda putih. Tangan kiri memegang bendera Filipina, tangan kanan memegang kita Injil. Sumber foto: BBC News
Filipina dikuasai oleh para dynasts ini. Mereka juga saling bersaing satu sama lain. Kadang persaingan ini menjadi sangat berdarah-darah. Pada tahun 2009, 59 orang ditemukan terbunuh di kota Ampatuan, Provinsi Maguindanao, di Pulau Mindanao. 34 dari korban adalah jurnalis. Mereka adalah bagian dari rombongan yang ingin mengantar pendaftaran Esmael Mangudadatu, wakil walikota Buluan yang hendak maju ke pemilihan umum menghadapi Andal Ampatuan Jr., anak dari gubernur Provinsi Maguindanao. Korban ini diculik, dibunuh, dan dikuburkan secara rahasia. Kematian mereka baru diketahui setelah beberapa hari.
Dinasti politik ini sangat kuat berakar di tingkat lokal. Bagaimana mereka kemudian menjadi penguasa di tingkat nasional? Pada umumnya, para penguasa lokal ini memulai karir politiknya di tingkat nasional dengan menjadi anggota parlemen. Dari sana kemudian mereka memainkan peranan untuk masuk ke dalam sistem kekuasaan nasional. Jika mereka mengelola kekuasaan dengan baik, mereka bahkan akan menjadi anggota kabinet dan meningkatkan karir politiknya.
Hubungan antara politisi dengan rakyatnya sangat unik. Massa-rakyat pemilih belum tentu memilih secara rasional berdasarkan kepentingan pribadinya. Sedikit “bantuan” dan perhatian dari para politisi sudah cukup untuk mendapatkan suara. Apalagi masyarakat Filipina sangat kuat terikat dengan “utang na loob” atau hutang budi. Saya membaca sebuah laporan jurnalistik yang menceritakan dukungan fanatik dari seorang miskin di Metro Manila terhadap Imelda Marcos. Penyebabnya sederhana. Ia pernah menerima bingkisan dari Imelda – satu-satunya politisi dan orang kaya yang pernah memberinya bingkisan.
Para politisi tahu persis psikologis pemilih ini. Ferdinand “Bongbong” Marcos, Jr. kabarnya terpilih oleh rakyat miskin karena kampanyenya secara diam-diam menghembus-hembuskan bahwa keluarganya memiliki berton-ton emas yang akan dibagikan kepada rakyat miskin bila dia berkuasa. Dalam politik, memamerkan kekayaan dan glamor sesungguhnya bukan merupakan kelemahan namun juga bisa menjadi kekuatan, khususnya di kalangan rakyat miskin yang selalu mengharapkan uluran tangan kaum berpunya. Ekspolitasi harapan inilah yang seringkali membuat dinasti politik bisa berkuasa lama – dan mungkin selamanya.
Terakhir, bisakah “sukses” Marcos Jr. ini direplikasi di Indonesia? Struktur politik Indonesia agak berbeda dari Filipina. Di beberapa daerah memang ada dan tumbuh beberapa dinasti politik, seperti di Provinsi Banten atau di Sulawesi Selatan. Resiliensi dinasti-dinasti ini masih perlu diuji. Mereka belum melewati generasi kedua dari dinasti ini.
Akan tetapi, kita juga tidak bisa mengingkari bahwa dinasti politik akan semakin kuat. Satu kunci untuk melawan dinasti politik adalah meritokrasi. Dalam hal meritokrasi, saya kira, Indonesia masih sehat. Namun meritokrasi pun tidak menjamin tidak ada dinasti politik. Singapura, misalnya, negara yang sangat meritokratik. Orang mungkin bisa mengkategorikan negara ini diperintah oleh keluarga Lee Kuan Yew. Walaupun juga harus diakui bahwa Perdana Menteri Lee Hsien Long yang sekarang berkuasa itu mulai karirnya dari bawah dan sangat capable mengendalikan negara kota ini.
Bagaimana dengan keluarga Cendana? Saya kira kecil kemungkinan. Jalur ke arah kursi presiden di masa sesudah Orde Baru ini agaknya menuntut pengalaman menjadi penguasa di daerah. Partai politik yang dimiliki Tommy Suharto, Partai Berkarya, tidak mampu bersaing pada pemilu 2019. Salah satu kelemahan Suharto saat memerintah selama 32 tahun adalah dia tidak memiliki loyalis. Sangat berbeda dengan Presiden Sukarno yang hingga saat ini masih memiliki loaylis yang besar. Suharto memerintah dengan kekerasan dan uang. Sukarno memerintah dengan ide.
Sementara para dinasti memerintah dengan mengeskploitasi harapan kaum miskin, memberikan mereka remah-remah, dan menunjukkan kepada kaum miskin bahwa mereka akan makmur bila diperintah oleh orang-orang yang tampil glamor. Selain itu, para dinasti ini juga menumpuk kekayaan dan menjadi penguasa tunggal di wilayahnya. Ia tidak saja dikagumi namun juga ditakuti. Lihat saja klan Ampatuan yang sanggup membunuh 56 orang dan sebagian besar diantaranya adalah jurnalis. ***