Saya bisa mengerti betapa tidak nyamannya menjadi imam di dalam gereja Katolik di masa-masa seperti ini. Gereja sedang mengalami masalah besar.
Saya kira tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa masalah yang dihadapi gereja sekarang ini hampir sama derajatnya dengan gegar revolusi liberal tahun 1960an. Ketika itu, generasi baby boomers yang juga dikenal dengan 'generasi bunga' menolak semua otoritas dan mendefinsikan kembali kebebasan.
Salah satunya adalah kebebasan seksual. Urusan seksual tidak lagi menjadi urusan kaum moralis. Hubungan seksual tidak lagi diatur oileh institusi melainkan menjadi hubungan antar-pribadi (private) yang konsensual. Bahkan institusi pernikahan pun didefinisikan ulang. Cukup banyak orang hidup bersama tanpa perlu menikah.
Salah satu yang menanggung akibat paling besar dari revolusi generasi bunga ini adalah gereja dan kekristenan, khususnya di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, epicenter dari revolusi ini. Di Eropa, gereja nyaris kosong. Kebosanan dan sikap anti-institusi membuat gereja, sebagai institusi yang sangat kaku, ditinggalkan umatnya Pastur dan suster mengundurkan diri dalam jumlah ribuan.
Di dalam Gereja Katolik, ada faktor tambahan juga, yaitu Konsili Vatikan II yang membuka gereja terhadap dunia luar. Gereka menjadi makin inklusif dan, ironisnya, menjadi semakin terisolasi. Gereja tidak mampu lagi menjadi 'Patriarkh' atau atau Bapa untuk umatnya.
Seiring dengan globalisasi, wajah gereja pun menjadi semakin majemuk. Persis seperti yang sebenarnya diantisipasi oleh Konsili. Gereja tidak lagi identik dengan kulit putih. Ia semakin menjadi gereja universal.
Kalau kita membandingkan Kolese Kardinal (College of Cardinals), yakni sekumpulan uskup yang berhak memilih dan dipilih menjadi Paus, warnanya pun semakin beragam dibanding dengan 50 tahun yang lampau. Kolose Kardinal saat ini tidak melulu berkulit putih. Banyak yang berkulit hitam, kuning, atau coklat. Ada banyak yang bermata sipit.
Gereja pun tidak lagi bisa mengklaim diri sebagai pusat dunia (the center of universe). Dia tidak bisa mengklaim diri sebagai satu-satunya jalur keselamatan. Salah satu buah terbesar dari Konsili Vatikan II adalah pengakuan bahwa keselamatan juga ditawarkan oleh kepercayaan dan agama-agama diluar kekristenan.
Ini yang sungguh revolusioner. Namun ini juga yang membuat hijrah besar-besaran keluar dari Gereja Katolik. Kalau ada keselamatan diluar, mengapa harus tinggal di dalam? Ini juga, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, yang membuat Imam, Suster, dan para anggota Tarekat Relijius keluar dari gereja.
Butuh waktu yang lama untuk Gereja Katolik menemukan posturnya kembali. Sejak kepausan Yohanes Paulus II (1978-2005) Gereja Katolik berusaha untuk menyeimbangkan diri. Paus ini dikenal sebagai Paus yang konservatif dalam ajaran moral dan sosial. Dia orang Polandia yang hidupnya dibatasi oleh rejim Komunis. Dia juga yang menjadi inspirasi perlawanan terhadap Komunis dinegaranya dan sering disebut sebagai salah satu faktor yang mengalahkan rejim-rejim Komunis di Eropa Timur dan Uni Sovyet.
Ironisnya, pada masa kepausannya, ajaran-ajaran Kiri dan Sosialis berkembang di banyak negara mayoritas Katolik yang rakyatnya miskin. Tidak ada jalan lain di negara-negara tersebut untuk melayani umatnya tanpa memeluk ajaran Kiri. Munculah gerakan Teologi Pembebasan di Amerika Latin, yang dengan cepat merambat ke Asia dan Afrika. Banyak diantaranya menjadi gerakan bersenjata. Radikalisme dalam gereja sangat tinggi intensitasnya.
Yohanes Paulus II sangat mengecam gerakan-gerakan teologi pembebasan ini. Tidak ada yang menggambarkan secara lebih baik konfrontasi Paus ini dengan aktivis Teologi Pembebasan saat ia mengunjungi Nikaragua pada tahun 1983. Saat itu, Paus memarahi Pastur Ernesto Cardenal, salah satu pemikir Teologi Pembebasan. Dia akhirnya ‘menangguhkan’ imamat Romo Cardenal. Baru 34 tahun kemudian imamat Romo Cardenal dikembalikan lagi oleh Paus Fransiskus, sesama orang Amerika Latin dan juga (walau terlambat) salah satu simpatisan Teologi Pembebasan.
Yohanes Paulus II digantikan oleh Paus Benediktus XVI, yang ultra-konservatif. Benediktus, yang nama aslinya adalah Joseph Ratzinger, sebelumnya adalah kepala doktrin gereja. Benediktus terkenal dengan doktrin anti-relativisme. Doktrin ini mengatakan bahwa gereja harus memegang teguh ajaran-ajarannya dan tidak mengakui kebenaran yang majemuk (relative). Gereja memang mengakui keindahan ajaran-ajaran kepercayaan lain, namun gereja tetaplah satu-satunya jalan kebenaran. Biarlah jumlah umat menjadi sedikit namun yang paling penting adalah umat yang memegang teguh ajaran.
Paus yang sekarang pun masih berusaha menemukan keseimbangan ini. Dia jelas lebih inklusif daripada pendahulunya. Namun dia juga berusaha untuk tidak menjadi relativis yang mutlak. Dia responsive terhadap isu-isu penting yang dihadapi umat manusia: lingkungan hidup, pengungsian, keadilan sosial, dan lain sebagainya. Dia juga harus menghadapi masalah gereja terbesar saat ini yang mungkin bahkan akan mendefinisikan seluruh periode kepausannya: yakni pelecehan dan perkosaan yang terjadi dalam gereja Katolik yang dilakukan para imam.
Selama puluhan tahun Gereja Katolik berusaha menghindar dari isu ini. Banyak uskup dan pimpinan tarekat-tarekat relijius mengetahui dan mendapat laporan tentang imam-imam yang melecehkan bahkan memperkosa anak-anak dan perempuan rentan didalam gereja. Namun, banyak dari mereka tidak mengambil tindakan. Mereka hanya memindahkan imam-imam bermasalah ini ke tempat lain dengan harapan dia tidak melakukan lagi. Namun, seringkali di tempat yang baru ini, kejadian berulang.
Banyak orang mungkin bertanya-tanya: Mengapa ini terjadi? Mengapa Gereja Katolik sangat tidak responsif terhadap kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi didalamnya?
Problem utama gereja adalah birokrasi. Ini adalah bentuk pengorganisasian yang paling awet, yang dimulai 2,000 tahun lampau, melewati banyak badai, darah dan air mata. Namun dia tetap tegak. Gereja Katolik punya organisasi paling rapi sedunia. Gereja ini dibagi kedalam unit-unit territorial – yang dipimpin oleh seorang Uskup. Ada 2,248 keuskupan di seluruh dunia. Ada 37 di Indonesia. Uskup Roma adalah pemegang wewenang tertinggi dalam gereja. Dialah Paus yang ‘primus inter pares’ dari para uskup ini.
Untuk menjalankan mesin birokrasi ini diperlukan pekerja yang sangat besar. Gereja Katolik tidak hanya institusi spiritual. Dia juga organisasi yang menyelenggarakan pendidikan, layanan kesehatan, hingga ke pelayanan sosial (charities). Banyak orang mengatakan bahwa Gereja adalah organisasi charity terbesar di dunia.
Saya tidak bisa membayangkan organisasi gereja tanpa membayangkan birokrasi militer, khususnya dalam persiapan personel. Seperti juga di militer, pPekerja gereja dipersiapkan lewat pendidikan dan latihan yang sangat ketat. Untuk menjadi imam diosesan, imam yang tunduk dibawah seorang uskup, minimal pendidikan yang diperlukan adalah 8 tahun. Mulai dari orientasi spiritual setahun, belajar filsafat, teologi, dan orientasi pastoral.
Untuk menjadi imam dari tarekat relijius, seperti Jesuit atau Fransiskan misalnya, waktu yang dibutuhkan adalah 13 tahun. Mereka mulai dari tahun persiapan rohani (novisiat) selama 2 tahun; filsafat 4 tahun, teologi 4 tahun (kalau mereka nantinya diproyeksikan mengajar mereka harus ambil dua tahun lisensiat), tahun orientasi pastoral 2 tahun, dan setahun untuk retret dan lain sebagainya.
Semua ini dibeayai oleh gereja. Jadi butuh beaya yang sangat mahal untuk membeayai satu orang pekerja untuk menjadi imam. Juga, semasa pendidikan menjadi para calon ini diperhatikan terus menerus. Mereka diwajibkan mempertanyakan dirinya sendiri: Benarkah jalan ini untuk saya. Bukan tidak jarang banyak yang mundur ditengah jalan. Banyak pula yang mundur menjelang tahbisan.
Konsekuensi dari pendidikan panjang dan berat ini adalah keengganan untuk mengeluarkan orang dari sebuah kongregasi atau komunitas imam. Karena imamat adalah sakramen yang tidak bisa dicabut, tidak jarang pula seorang imam yang sudah dikeluarkan oleh komunitasnya melamar ke tempat lain dan diterima. Ada imam yang dikeluarkan dari satu keuskupan, melamar ke keuskupan lain, dan diterima disana. Di tempat yang baru, uskup merasa beruntung mendapat pekerja yang sudah jadi, walaupun cacat tapi ada harapan cacatnya bisa diperbaiki. Di tempat yang lama, uskup merasa bebannya sudah hilang karena sudah menendang keluar imam yang cacat tadi.
Seperti militer, ada juga kultur saling melindungi. Kalau Anda pernan menonton film “A Few Good Men” Anda akan mengerti seperti itulah kultur saling melindungi dalam Gereja. Imam menutup mata terhadap kesalahan imam lain karena dia juga bersalah. Atau menganggap itu bukan urusannya. Biasanya imam hidup dalam komunitas. Orang berusaha seminimal mungkin menciptakan konflik didalam komunitas sehingga orang tidak mau mencampuri urusan orang lain.
Selain itu, esprit de corps di kalangan imam dan uskup juga sangat tinggi. Sama seperti di dalam militer. Mereka akan saling melindungi jika dipermasalahkan. Siapakah yang akan membela saya jika saya dipersalahkan? Tentu kawan-kawan sendiri.
Kultur seperti ini tidak mempersiapkan Gereja Katolik dalam menghadapi skandal seksual yang terjadi didalamnya. Kultur ini sangat permisif terhadap impunitas. Seperti kita tahu, impunitas adalah persetujuan untuk pelaku kejahatan seksual untuk mengulangi perbuatannya. Disadari atau tidak, gereja menjadi ladang subur untuk para pedofil atau sexual predator. Mereka aman dalam tembok gereja.
Tulisan berseri di The Jakarta Post dan Tirto.id mudah-mudahan menjadi dering peringatan kritis bagi gereja. Masalah ini sangat serius! Yang dipertaruhkan adalah fondasi kepercayaan gereja, khususnya para klerus. Mayoritas imam, bruder, frater, adalah orang-orang baik yang sangat berdedikasi untuk gereja. Mereka memang ingin membaktikan diri untuk gereja. Jika gereja ingin melindungi para pekerjanya yang baik, maka gereja harus mengambil tindakan tegas terhadap imam-imam yang bermasalah ini. Gereja harus menunjukkan suaranya.
Yang lebih penting lagi, gereja harus bersikap tegas, keras, memperlakukan zero tolerance untuk kasus-kasus kekerasan seksual dalam bentuk apapun. Tidak ada wilayah abu-abu disini. Sikap anti-relativisme dari Paus Benediktus XVI harus diterapkan disini.
Gereja adalah tempat mengungsi (sanctuary) untuk mereka yang lemah, yang rentan baik secara fisik maupun psikis. Pelayanan terhadap kaum rentan sangat mudah dipergunakan untuk tindakan-tindakan predatoris. Manipulasi psikologis sangat gampang dilakukan terhadap orang yang membutuhkan bimbingan pastoral, misalnya.
Gereja harus memberikan peranan sebesar-besarnya kepada kaum perempuan untuk menangani masalah-masalah pastoral. Gereja harus menyisihkan sumber daya semaksimal mungkin untuk kaum perempuan dan memberikan porsi sebesar-besarnya kepada perempuan untuk melakukan bimbingan pastoral. Pengalaman saya berhadapan dengan kasus-kasus kekerasan seksual di dalam gereja di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa ketika gereja mengalami krisis, maka para bunda gereja, yang selama ini hanya menjadi kanca wingking yang maju ke depan memimpin dan mengambilalih tanggungjawab.
Gereja adalah institusi patriarki. Marilah kita akui ini dengan jujur. Mengubahnya sama seperti mengubah dunia. Dalam institusi patriarki ini, semua kemegahan sebagai laki-laki dirayakan. Dengan jubah. Dengan upacara. Dengan dupa, air, bunga, dan doa. Saya kira tidak banyak orang yang keberatan akan hal ini.
Masalahnya adalah para pelaku kejahatan dan predator seksual dengan mudah bersembunyi dibalik kemegahan yang patriarkis ini. Buanglah jubah mereka, maka mereka akan menjadi sampah. ***
Terima kasih ulasannya Bli Made...
Merinding membaca ulasan ini. Tp tidak apa². Ini problem yg sedang dihadapi gereja saat. Gereja harus bangkit