Saya masih ingat akan kelas itu. Judulnya saja sudah menyeramkan. Govt 601: Scope and Method of Political Analysis. Pengasuhnya adalah Walter Mebane, seorang ahli statistik. Dia orang Amerika berkulit hitam. Ini perlu ditegaskan ditengah-tengah perjuangan menuntut keadilan rasial di Amerika sekarang ini.
Secara pribadi, dia baik luar biasa. Bahkan terlalu baik untuk seorang profesor. Dengan sesabar-sabarnya dia menjelaskan konsep-konsep dasar yang asing bagi ilmuwan politik dunia ketiga yang buta sama sekali tentang ilmu politik ala Amerika. Prof. Mebane sekarang mengajar statistik dan metodologi ilmu politik di University of Michigan. Dia ahli soal kecurangan pemilu.
Setiap akan masuk ke kelasnya, perut saya mules. Ini adalah kelas seminar. Semua orang harus bicara dan mendiskusikan buku atau bacaan dalam minggu tersebut. Ada sepuluh mahasiswa disana. Setiap minggu dua orang menulis memo berdasarkan buku atau artikel yang dibacanya. Biasanya memo itu membahasa beberapa bab buku atau artikel. Beban bacaan mingguan rata-rata sekitar 500 halaman. Ada juga bacaan ekstra yang boleh dibaca kalau ada waktu. Tentu saja, hampir pasti tidak ada yang melakukan.
Seperti patut diduga, saya tidak mengerti sepatah pun terminologi ilmu politik. Selain itu, Bahasa Inggris saya pun pas-pasan, hanya cukup lulus TOEFL. Orang fasih berbicara dengan menggunakan terminologi seperti 'parsimony' atau 'triangulation,' yang sama sekali asing untuk saya. Pendeknya, kelas ini adalah neraka.
Namun anehnya, kelas inilah yang justru paling saya ingat. Bacaannya sampai sekarang masih kadang saya tengok kembali. Prof. Mebane, yang sangat kuantitatif itu, berusaha mengimbangkan semua hal dalam ilmu-ilmu sosial. Dia tidak menitikberatkan analisis pada kuantifikasi. Namun juga memberikan proporsi yang sama terhadap analisis interpretatif. Dia tidak hanya memperkenalkan indahnya statistik namun juga nikmatnya etnografi.
Sebagai mahasiswa asing yang juga asing dengan berbagai konsep dan teori ini, saya punya hak istimewa yang tidak diberikan kepada mahasiswa lain. Saya diperbolehkan memilih bacaan yang ingin saya presentasikan sebagai memo. Setelah mengamati semua bacaan, saya memutuskan memilih yang saya pikir paling gampang. Paling saya mengerti. Paling dekat dengan pengalaman dan hidup saya.
Artikel itu adalah tentang sabung ayam. Pengarangnya, siapa lagi kalau bukan Clifford Geertz, seorang raksasa dalam bidang antropologi. Pengertian raksasa disini adalah seorang ilmuwan yang karyanya banyak diperdebatkan, dikritik, dan tentu juga dipuji. Artikel Geertz itu berjudul "Deep Play: Notes on the Balinese Cookfight."

Ternyata artikel itu tidak segampang yang saya bayangkan. Identitas saya sebagai orang Bali tidak dengan serta merta mengijinkan saya mengerti tentang apa yang ditulis Geertz. Di balik sabung ayam itu, Geertz membawa saya menyelam dan menjelajah ke wilayah berpikir yang sama sekali asing. Dia seperti arus yang membuat saya terbenam beberapa kali dan hidung saya kemasukan banyak air.
Baru saya sadar bahwa bahwa artikel ini adalah salah satu standar dalam ilmu-ilmu sosial. Biasanya orang membaca artikel ini sesudah membaca artikel Geertz yang lain "Thick Description." Di dalam artikel terakhir ini Geertz meletakan landasan metodologisnya tentang mengapa analisis-analisis interpretatif juga sah dilakukan dalam ilmu-ilmu sosial. Mengapa menafsirkan sebuah fenomena sosial lewat simbol-simbolnya juga sama penting dan sama absahnya dengan menarik kesimpulan lewat pengujian angka statistik yang menentukan tingkat korelasi antara satu hal dengan hal yang lain.
Kalau Anda belajar metodologi ilmu-ilmu sosial, Anda pasti akrab dengan ujaran, “correlation is not causation.” Hubungan korelatif tidak dengan serta merta adalah hubungan sebab akibat. Jika hubungan A dan C itu kuat, tidak dengan serta merta A mempengaruhi keberadaan C. Misalnya, tingginya tingkat kelahiran berkolerasi dengan tingkat umur kawin. Semakin rendah umur rata-rata orang kawin maka semakin tinggi angka kelahiran.
Namun umur tidak menyebabkan tingginya angka kelahiran. Mesti ada sesuatu yang lain yang mengakibatkan tingginya angka kelahiran. Dan penyebabnya bisa sangat banyak, yang sulit sekali untuk diisolasi dan digeneralisasi.
Teks Geertz ini ternyata tidak mudah. Saya baca beberapa kali dan tetap tersesat diantara banyaknya contoh-contoh yang dia berikan. Ayam itu adalah lambang kelelakian Bali (sesungguhnya dalam bahasa Inggris, cock juga berarti kemaluan lelaki alias kontol). Saya bisa mengerti interpretasi itu.
Akan tetapi Geertz memberikan deskripsi yang amat detail tentang sabung ayam -- mekanisme permainannya, pertaruhannya, dan semua adat kebiasaan -- sedemikian detail sehingga saya sebagai orang Bali pun harus tertatih-tatih memahaminya. Terus terang, saya mulai belajar tentang sabung ayam itu dari membaca artikelnya Geertz ini.
Ironis memang. Seorang pribumi belajar tentang kebudayaannya dari teks yang diciptakan oleh orang asing. Namun saya senang mempelajarinya. Ia merangsang saya berpikir. Saya juga tidak mudah memberikan label ‘orientalis’ kepada perspektif teoritik yang saya rasa tidak pas. Untuk saya ‘cancel culture’ sebaiknya tidak diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Sebaiknya, orang membalas argumen teoritis dengan meneliti ulang atau pergi ke lapangan dan menyodorkan bukti lain dengan perspektif yang juga berbeda.
Geertz berbicara tentang kontestasi di dalam masyarakat Bali. Dia berusaha memahami mengapa orang bertaruh lebih dari yang dia miliki. Ia memberikan detail soal gender — laki-perempuan relatif setara di Bali tapi sabung ayam adalah wilayah yang sepenuhnya laki-laki. Gambaran ini berlawanan dengan persepsi penuh prasangka yang sering kita dengar bahwa lelaki Bali itu pemalas.
Geertz membuat perhitungan yang lumayan rumit dalam persoalan pertaruhan. Lengkap dengan angka-angkanya. Dalam interpretasi Geertz, sabung ayam tidak hanya sekedar pertaruhan uang. Tapi juga pertaruhan prestise atau harga diri. Kadang kontestasi antara komunitas satu dengan yang lain; antara banjar satu dengan yang lain; dadia satu dengan yang lain.
Ia memberikan mekanisme psikologis bagaimana taruhan ini bekerja. Bagaimana sabung ayam adalah simbol dari kemegahan (pomp), pertama untuk lelaki dan kedua untuk komunitas yang diwakilinya. Banyak dari argumen dalam “Deep Play” ini kemudian dia elaborasi dalam bukunya “Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali.”
Membaca kembali artikel Geertz ini menyadarkan saya pada setidaknya tiga hal. Pertama, soal metodologi. Tidak ada satu metodologi yang lebih superior dari yang lain. Setiap metodologi perlu dikaji kedalamannya. Orang-orang sekarang bersandar pada ‘big data’ seolah-olah dengan memiliki data mereka menguasai dunia (data-cracy). Saya kira, baik kalau kita menguasai data. Tapi bahwa koleksi data yang jumlahnya luar biasa besar itu apakah membuat kita mengetahui semua fenomena di dunia ini? Saya kira tidak. Kita pun masih meraba-raba jika kita ingin mencari apa yang menyebabkan apa.
Persoalan kedua, soal praktek ilmu sosial. Geertz menulis esei ini, dari yang saya tangkap dalam teksnya, pada tahun 1957. Dia berumur 31 tahun ketika itu. Dia lulus PhD pada tahun yang sama dengan disertasinya tentang agama Jawa yang kemudian terbit pada tahun 1961. Sebelumnya Geertz melakukan pekerjaan lapangan. Saya perkirakan dia melakukan riset lapangan di Mojokuto dalam paruh kedua umurnya yang duapuluhan tahun. Masih sangat muda.
Dalam usia semuda itu, dia belajar kebudayaan yang sama sekali asing. Hidup terisolasi di dunia yang sama sekali lain, makan makanan asing, bergaul dengan orang yang tidak dikenal, menyelami pikiran orang-orang yang juga asing. Saya bisa membayangkan proses intelektual yang sangat berat ini.
Ketika saya membaca “The Religion of Java,” saya menemukan banyak sekali kesalahan. Termasuk kesalahan yang sangat memalukan ketika pada halaman persembahan dia menulis “Nuwun Pangestunipun Sedaja Kalepatan Kula.” Namun, ketika saya membaca catatan-catatan etnografis yang dia bikin, saya menjadi bertanya-tanya: Mengapa Clifford Geertz yang membuat ini?
Kita bisa berdebat tentang interpretasi teoritik dan kesimpulannya. Namun, menurut saya, buku itu adalah buku pertama di Indonesia yang menghubungkan antara afiliasi sosial (abangan, santri, dan priyayi), dengan pekerjaan (petani, pedagang, pegawai), dan afiliasi politik (partai-partai Islam, Nasionalis-sekuler, dan Komunis). Hingga saat ini pun tidak ada orang yang berani melakukan kajian seperti itu.
Temuan Geertz itu, dalam bahasa ilmu politik, sangat ‘parsimonious.’ Orang dengan cepat memahaminya, mengingatnya, dan mendebatnya. Keindahan ilmu sosial adalah dia memberikan counter-factuals and mentoleransi, dalam derajat tertentu, terjadi kesalahan (fallacies). Geertz dalam usia dua puluhan tahun telah menciptakan ‘grand theory’ tentang Jawa yang hingga kini terus diperdebatkan. Seorang anrtopolog kawan saya, karena demikian bosannya mendengarkan perdebatan usang ini, mengatakan bahwa mendebat temuan Geertz itu seperti “berulangkali menggebuki kuda yang sudah mati.”
Persoalan ketiga adalah soal ‘cancel culture’ yang sekarang terjadi dimana-mana itu. Saya kira kita tidak perlu menafikan Geertz dan melabelinya dengan ‘orientalis’ hanya karena dia bukan orang Timur dan interpretasinya yang mungkin bias terhadap Jawa dan Islam. Kita harus mendudukan orientalis pada makna sebenarnya, yakni sebuah posisi teoritik yang dipakai untuk mendukung agenda kolonial dan neo-kolonial.
Mungkin teori Geertz ada pada posisi ini. Namun, persoalannya, ada banyak hal yang bisa disikapi dengan analisis teoritik yang sama. Hanya memberikan label ‘orientalis’ tanpa pernah mengunyah secara mendalam apa yang ditawarkan adalah sama dengan membuat litmus test ideologi terhadap posisi teoritik itu. Hal yang sama sekali bukan sebuah pergulatan ilmiah.
Sergahan orientalis biasanya juga diikuti dengan ajakan untuk mempribumikan (indigenize) ilmu-ilmu sosial. Saya tidak percaya akan keharusan adanya ilmu-ilmu sosial pribumi. Untuk saya, ini adalah usaha untuk membatasi kekritisan ilmu-ilmu sosial. Indigenisasi ilmu-ilmu sosial hanyalah sebuah ‘publicity stunt.’ Kita mungkin akan menolak analisis kelas yang Marxian atas kehidupan petani di pedesaan Jawa hanya karena analisis ini tidak indigenous? Kemudian, belum lagi kita harus berdebat tentang apa yang indigenous dan apa yang tidak. Sama seperti kita tidak henti-hentinya bertengkar tentang rendang asal usulnya darimana. ***
Matur nuwun Bli Made...
terimakasih, bil Made. ditunggu post yg lain..