The Burden of Being Religious
Anak Surabaya ini terdampar di pulau kecil bernama Gili Terawangan. Jadilah dia seperti omang-omang, kepiting kecil yang mendiami rumah siput. Di pulau yang kecil tanpa kendaraan, tanpa polisi, dan semua orang sikapnya bersahabat itulah rumahnya.
"I Like to study the culture of the tourists and the locals. For western girls, sex is like eating ... It is not like in Indonesia, because you can’t have sex before marriage. If you fuck a local, you have a responsibility,' katanya.
Dan dia mengerti 'culture' ini lewat meniduri banyak perempuan 'Western'.
"But on this island it is multicultural, so why not? I had a lot of western girls just for fun. Maybe 25 girls during the last 3 years? But we are not gigolos; we are not looking for money. The Beach-Boys in Bali go with the old girls. We like the young girls!"
Anak ini adalah representasi imajinasi tentang turisme. Saya ingat, di tahun 70an dan 80an, orang berwisata ke Bali untuk melihat 'turis telanjang.' Imajinasi ini masih tetap ada sampai sekarang.
Itulah alasan banyak lelaki 'Wisnu' (Wisatawan Nusantara! Aha!) yang datang ke pantai Kuta, misalnya.
Jakun mereka naik turun demi melihat perempuan dengan bikini berjemur. Kadang para 'turis' ini melepas kutang dan membiarkan payudara mereka terpanggang matahari. Kadang mereka berjemur telungkup tanapa mengenakan apa-apa. Tubuh mereka berminyak oleh sunscreen.
Bukan pula pemandangan aneh jika lelaki macam ini datang berombongan dengan bini dan keluarganya -- dan sebagian ada yang berjilbab juga.
Dari imajinasi itulah lahir persepsi moral: bahwa kami para Wisnu itu bukan mereka yang mengalami dekadensi moral.
Sebaliknya, anak Surabaya ini, karena sudah kadung 'terjerumus' ke dalam dekadensi ini justru memanfaatkannya sebaik-baiknya. For pleasure! "Love gives you power, but too much love can kill you," katanya. Anak kalimat terakhir itu dia kutip dari bait lagu Queen.
Untuk saya, sesungguhnya para Wisnu itu merasa cemburu dengan anak Surabaya yang bisa ngewek seenaknya ini.
Mereka sendiri tidak bisa ngewek seenaknya karena mereka dibatasi oleh standar moralitas mereka sendiri. Para Wisnu ini memandang sangat rendah dekadensi, bahkan tidak segan-segan menghukum dengan api neraka. Namun toh itu tidak menghalangi mereka menelan ludah dan menghela napas dalam-dalam demi menahan nafsu yang membuncah ketika melihat hamparan tubuh telanjang dan setengah telanjang.
Dan mereka tentu tidak terlalu suci juga. Mereka kadang selingkuh dengan rekan sekantornya. Dengan sopir atau bahkan dengan asisten rumah tangganya. Tapi tetap saja, mereka mendudukkan diri dengan standar moral lebih tinggi dari para turis yang berjemur seperti ikan asin itu.
Saya tidak hendak mengatakan ini sebuah kemunafikan. Sama sekali tidak.
Ini adalah beban menjadi moralistik. Ini adalah beban menjadi manusia agamis.
Tapi beban itu harus ditanggung demi ketertiban kedisiplinan masyarakat. Tidak akan ada ketertiban (order) jika setiap orang bisa ngewek seenaknya dengan siapa saja, kapan saja, bukan?
“If you fuck a local, you have a responsibility,” demikian kata anak muda ini. Dia pun, sebagai sesama warga Nusantara, mengakui bahwa ngewek dengan turis punya standar lain. Semua dari kita cemburu akan orang mampu hidup tanpa responsibility atau tanggungjawab ini.
Akan tetapi, masyarakat tidak akan pernah bisa terbentuk kalau tidak ada yang bertanggungjawab, bukan?
Note: Tulisan ini pernah terbit pada akun Facebook saya pada 18 Juni 2015. IA berdasarkan pada artikel yang dimuat disini:
http://www.paradiseislandproject.com/chandra/
Sayang sekali, artikel itu tidak dapat lagi diakses.