Pada akhir tahun 1966, seorang jurnalis TV Amerika dari stasiun NBC meliput ke Indonesia. Hasilnya adalah sebuah film dokumenter yang kemudian diberi judul "Indonesia: The Troubled Victory."
Jurnalis itu adalah Ted Yates. Dia mendapatkan akses untuk pergi kemana-mana di Indonesia. Seperti kita tahu, saat itu Indonesia sedang bergolak. Pemerintahan Presiden Sukarno sedang goyah. Tentara sedang menjalankan kudeta secara merayap.
Pada awal film dokumenter ini, Ted Yates menggambarkan bagaimana Indonesia terhindar dari perangkap domino Komunisme. Kemenangan tentara melawan PKI adalah juga kemenangan Amerika Serikat, negara asal pembuat film ini. Namun kemenangan ini menjadi bermasalah (troubled) karena pembantaian massal, karena penahanan ratusan ribu orang tanpa proses pengadilan, karena militer semakin agresif memberangus suara-suara kritis yang dulu mendukungnya berkuasa.
Film dokumenter ini pertama kali menarik perhatian saya ketika menonton film "The Act of Killing" dari Joshua Oppenheimer. Dalam berbagai wawancara, Joshua mengaku bahwa ide awal dari pembuatan film-nya adalah karena menonton dokumenter dari Yates ini.
Film ini menjadi satu bukti sejarah karena dibuat pada puncak pergolakan politik di Indonesia. Jelas sekali, penguasa militer ketika itu memberikan Yates akses yang seluas-luasnya untuk pegi kemana saja. Film ini diharapkan menjadi semacam public relations untuk rejim baru yang belum tegak berdiri. Yang lebih penting lagi, rejim ini tahu persis bahwa film ini akan dipertontonkan di depan publik Amerika. Indonesia sangat membutuhkan dukungan Amerika Serikat. Dan, kita tahu, Amerika Serikat dengan loyalitas penuh berdiri dibelakang Indonesia. Baik dalam memberikan bantuan ekonomi, bantuan pangan, dan diplomasi luar negeri, antara lain dengan membantu memasukkan Papua menjadi wilayah Indonesia, dan kemudian mendukung juga daam aneksasi Timor Leste 1975.
Ada banyak adegan dalam dokumenter ini yang menarik perhatian saya. Salah satunya adalah ketika Yates masuk ke LP Cipinang, dimana sebagian tahanan PKI dikumpulkan. Dia mengambil gambar Kol. Latief, yang kurus kering. Dari cerita Latief kita tahu bahwa saat itu kakinya bernanah, membusuk dan berulat. Dalam dokumentasi Yates, yang tampak bukan seorang pemberontak keras kepala seperti dalam film propaganda "Pengkhianatan G30S/PKI" yang sekarang sedang dikampanyekan kembali oleh bekas Panglima TNI Gatot Nurmantyo itu. Yang terlihat adalah Latief yang lemah ditemani oleh beberapa kucing.
Kemudian ada juga saat dimana kamera Yates menyorot ibu-ibu Gerwani. Yang kita lihat bukanlah ibu-ibu dengan mata melotot penuh dendam seperti proganda rejim militer Orde Baru. Mereka ibu-ibu biasa. Kalau Anda pernah melihat ibu-ibu pada tahun 1960an, generasi kakek nenek Anda atau orang tua Anda, seperti itulah mereka itu. Ini adalah ibu-ibu biasa yang kebetulan menjadi aktivis partai. Sama seperti ibu-ibu yang jadi aktivis PDIP, Golkar, atau Gerindra di jaman sekarang ini.
Yates juga menggambarkan kesulitan ekonomi. Sanusi, seorang pegawai negeri dari Jawatan Statistik yang kurus kering, yang jelas sekali menggambarkan bagaimana ekonomi terpuruk dan sulit ketika itu. Pegawai jawatan ini mendapat jatah beras dari kantornya di samping gaji. Ini jelas tidak cukup untuk menghidupi anak bini dan 21 anggota keluarga yang hidup dirumahnya. Dia membuat kue yang dijajakan anak-anaknya dari beras jatahnya sebagai pegawai negeri itu.
Dalam dokumenter ini kita juga melihat para mahasiswa. Ini adalah wajah mahasiswa yang nyata. Mereka muda-muda. Mereka sehat dan tegap. Tidak kerempeng dan kurang gizi seperti Latief atau pegawai jawatan statistik itu. Mereka aktif berdemonstrasi di jalan-jalan.
Yang menarik untuk saya adalah seragam mereka yang baru-baru. Loreng-loreng militer. Saya mendengar cerita orang-orang tua yang hidup pada tahun 1960an. Baju dan celana drill, seperti yang dipakai oleh para mahasiswa itu, adalah sesuatu yang sangat mewah untuk rakyat kebanyakan. Sampai sekarang para mahasiswa itu dikenang sebagai 'pembela dan pembawa amanat hati nurani rakyat.' Dengan baju dan celana drill yang membedakan mereka dari rakyat kebanyakan. Tentu, saya bertanya, siapa yang memberikan baju dan celana drill loreng yang mirip militer itu?
Juga ada adegan anak-anak sekolah SMA. Mereka juga berpakaian loreng. Sama seperti mahasiswa, anak-anak SMA ini tampak sehat. Mereka berjalan ke kampung-kampung, membawa daftar yang berisikan anggota dan simpatisan PKI. Kemudian mereka juga diberi hak untuk menentukan siapa yang menjadi anggota dan simpatisan PKI. Kalau dakwaan dijatuhkan, mereka otomatis bersalah. Mereka membikin ‘pengadilan’ yang bisa disebut sebagai main hakim sendiri. Yates menyebutnya dengan istilah “kangaroo court.”
Inilah yang menggugat rasa kemanusiaan saya yang paling mendalam. Siapakah yang merancang sistem yang mengijinkan anak-anak remaja ini untuk menentukan hidup mati seseorang? Kita tahu bagaimana akhir dari nasib seseorang setelah dia didakwa menjadi pengikut atau simpatisan PKI.
Seharusnya, sekalipun benar mereka adalah anggota atau simpatisan PKI, harus dibuktikan bahwa yang bersangkutan memang hendak menghancurkan negara. PKI adalah partai yang legal secara hukum ketika itu. Adalah normal orang menjadi anggota partai ini, senormal orang menjadi anggota partai PNI atau partai lainnya ketika itu.
Dilihat dari kacamata sekarang ini, mungkin kita akan melihat gradasinya. Saat ini, kita tahu beberapa organisasi bahkan tidak punya kekuatan hukum apapun namun masih bisa melakukan apa saja di masyarakat kita. Mereka merasa berhak untuk menutup atau memberangus apa saja yang mereka rasakan tidak sesuai dengan kepentingan mereka. Namun mereka tidak dikenai tindakan hukum. Disitulah kontrasnya.
Di bagian lain, kamera Yates diarahkan ke Bali. Pemirsanya diajak melihat pembantaian massal. Lima puluh ribu orang meninggal, kata Yates saat itu. Angka sebenarnya jauh lebih tinggi. Ada sekitar delapan puluh orang terbantai. Pembantaian di Bali per kapita lebih tinggi daripada pembantaian Khmer Merah pimpinan Pol Pot di Kamboja.
Disini kita melihat seorang akademik yang sangat cakap berbahasa Inggris. Dia adalah Dr. I Ketut Rata, seorang arkeolog dan salah satu pendukung paling gigih pariwisata di Bali. Dia adalah dosen sebuah universitas negeri di Denpasar. Rata dengan bangga menceritakan bagaimana Bali menjadi lebih nyaman tanpa Komunis. Dia menceritakan bagaimana orang-orang Komunis, yang telah mengotori Bali, meminta sendiri kematiannya. Mereka berpamit kepada keluarga dan komunitasnya (banjar) sebelum dibantai.
Foto: Dr. Ketut Rata ketika memberi penjelasan kepada Yates tentang anggota PKI yang secara ‘sukarela’ minta dibunuh. Dari dokumenter Yates.
Pada Ketut Rata kita melihat bagaimana kaum intelektual menjustifikasi dan, yang lebih penting, menormalkan kematian. Bagaimana dia membungkusnya menjadi sebuah ritual. Bahwa menjadi komunis itu membuat buminya tercemar (bahasa Bali: leteh). Bulu kuduk saya berdiri karena proses normalisasi pembantaian ini. Karena kedinginan analisis Dr. Ketut Rata ini.
Yates rupanya juga sempat pergi ke Sumatera Utara. Ke wilayah-wilayah sabuk kapitalisme yang pernah menarik perhatian sarjana-sarjana seperti Ann Stoller, Karl Pelzer, atau Anthony Reid. Wilayah inilah yang menarik perhatian Joshua Oppenheimer sehingga mendorongnya membuat beberapa film bertema pembantaian 1965 ini.
Dalam dokumenter Yates digambarkan bahwa militer sangat percaya orang menjadi Komunis karena kurang beragama. Maka diagamakanlah para tahanan ini. Untuk mereka yang mengerti, banyak orang menjadi anggota PKI karena program-program ekonomi partai ini khususnya dalam hal land-reform dan perjuangan hak-hak buruh. Banyak dari mereka kaum beragama yang taat. Namun militer dengan menutup semua perjuangan ekonomi ini dengan agama. Kampanye paling berhasil dalam stigmatisasi kaum komunis adalah bahwa mereka ateis.
Namun bagian yang paling menyentuh dari segmen Yates di Sumatera Utara adalah ketika dokumentasinya menunjukkan kerja paksa yang harus dilakukan para tahanan ini di perusahan-perusahan yang dikontrol militer namun dimiliki oleh pihak asing. Salah satu perusahan tersebut adalah Good Year, perusahan ban yang memiliki kebun karet. Negara modern manakah didunia ini yang memperbudak warganegaranya? Sekali pun mereka dianggap bersalah, dan dibuktikan bersalah lewat pengadilan, menurut hukum perang humaniter, mereka tidak boleh melakukan kerja paksa. Orang-orang yang dipaksa bekerja ini bahkan tidak pernah terbukti bersalah oleh pengadilan.
Foto: Para tahanan yang berbaris untuk melakukan kerja paksa dalam dokumenter Yates.
Segmen Yates di Sumatera Utara juga memperlihatkan nasib orang-orang keturunan Cina. Mereka jelas dianggap sebagai pendukung negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Mereka hendak dideportasi. Mereka dikumpulkan di sebuah kamp bekas sekolah berbahasa Cina. Begitu tahu bahwa Yates adalah jurnalis dari Amerika, para tahanan ini marah dan melemparinya. Militer yang mengawal Yates terpaksa harus melepaskan tembakan ke udara.
Dokumentasi Yates ini, yang dikerjakan dengan akses dan ijin pihak militer, menjadi saksi tentang kebrutalan dan masa lalu yang sangat pahit bangsa ini. Tidak mudah untuk menyaksikannya. Mereka yang percaya bahwa pembantaian massal 1965 itu adalah hoax pasti akan dengan segera menganggap ini semua dokumentasi palsu. Orang hidup dalam tempurung keyakinannya sendiri.
Untuk saya sendiri, dokumenter ini sulit untuk ditonton. Saya digedor dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa saya jawab. Bangsa saya yang ramah tamah beradab dan penuh senyum ini sanggup melakukan kekejaman seperti ini? Apakah yang menyebabkan kita demikian kebas, mati rasa (numb), terhadap hancurnya jutaan orang yang seharusnya menjadi sesama saudara sebangsa? Darimanakah asal dari kebengisan ini?
Saya memandang dengan tidak berdaya semua mitos yang dibangun oleh tentara dengan dibantu antek-antek sipilnya, yang sebagian besar intelektual itu. Saya melihat mahasiswa dan siswa-siswa SMA dengan seragam loreng militer mengganyang sana-sini. Sementara militer dan aparat-aparat keamanan berdiri di pinggir mengawasi pesta pembantaian ini.
Banyak studi sudah dilakukan tentang pembantaian massal 1965. Dari banyak studi itu, satu hal yang jelas, militer tidak melakukan pembantaian. Mereka berdiri di pinggiran. Mereka memfasilitasi rakyat sipil untuk melakukan pembantaian. Militer hanya memberikan daftar, menyediakan logistik, dan bial perlu mempersenjatai. Dengan berlaku demikian, mereka tidak menanggung kesalahan dan dosanya. Rakyatlah yang membantai sesama rakyat. Dengan demikian, pertanggungjawaban menjadi hal yang mustahil. Siapa yang harus bertanggungjawab karena pembantaian dilakukan oleh ‘massa’? Bukankah ini tampak seperti main hakim sendiri oleh rakyat terhadap sesama rakyat? Bukankah hal seperti ini sering kita lihat dalam hidup sehari-hari kita?
Warisan dari pola membiarkan rakyat menggorok sesama rakyat ini dengan jelas masih bisa kita lihat dan alami pada saat ini. Masih ingat bagaimana Wiranto menciptakan PAM Swakarsa? Masih ingat beberapa minggu lalu Kapolri mengeluarkan keputusan untuk menciptakan PAM Swakarsa dalam operasi penanggulangan Covid-19?
Itu sebagian kecil dari warisan pembantaian 1965-66. Warisan lebih serius adalah mati rasanya semua kemanusiaan kita dan hilangnya Republik Revolusi 1945. Yang kita warisi sekarang ini adalah Republik Kontra-revolusi 1965. Para pembantai adalah pemenangnya. Dan mereka terus menerus menjadi pemenangnya dan diwariskan kepada keturunannya.
Akan halnya Ted Yates, dia meninggal beberapa saat setelah melakukan liputan di Indonesia. Dia terkena bom di Yerusalem dalam konflik Israel-Palestina. ***