Tirani Meritrokrasi
Bagaimana ijazah universitas menciptakan standar moral tentang kerja dan konsekuensinya terhadap politik dan masyarakat
Michael Sandel, ahli filsafat politik yang saya sukai, akan mengeluarkan buku baru. Judulnya "The Tyranny of Merit: What’s Become of the Common Good?”
Berbeda dengan filsuf-filsuf lain yang ruwet muler mungkret untuk menerangkan sesuatu, Sandel cenderung mengurai dan membikin sederhana masalah yang dia terangkan. Serial video kuliahnya tentang keadilan bisa ditonton di Youtube.
Dia memberi kuliah dengan gaya Socrates: membangun cerita, memaparkan masalah, dan kemudia bertanya kepada mahasiswa yang jumlahnya ratusan di satu auditorium besar. Kemudian dia memberikan pandangan kritis terhadap jawaban mahasiswa tersebut. Dialog dalam kuliah itu menjadi sangat menarik.
Saya membaca esai dari Sandel yang disarikan dari buku ini. Temanya tentang penghinaan atau peremehan terhadap kaum tidak berijazah dan tidak terdidik. Argumennya, banyak orang sekarang mengagungkan meritrokrasi -- bahwa jalur pendidikan adalah kunci menuju sukses. Karir orang dibangun lewat ijazah universitas. Dan, ijazah kemudian menjadi standar moral yang pantas untuk yang memilikinya, dan yang rendah untuk yang tidak punya ijazah.
Sandel bicara tentang Amerika tentu saja. Dia mencatat bahwa Joe Biden adalah calon presiden pertama dalam 36 tahun yang bukan tamatan universitas-universitas elit yang dikenal dengan sebutan "Ivy League." Dia juga mencatat bahwa 95% anggota DPR dan 100% anggota Senat di Amerika adalah lulusan universitas.

Foto: Yale University, salah satu universitas elit Amerika. Universitas ini terletak di kota New Haven, Connecticut. Sementara Yale adalah tempat yang sangat elitis, New Haven adalah kota yang sangat miskin.
Sementara, Sandel mencatat bahwa dua per tiga dari rakyat Amerika tidak punya ijazah universitas.
Apakah ini masalah? Sebetulnya tidak. Hanya saja, sebagian besar mereka yang bukan tamatan universitas dipandang rendah. Sebagian besar dari mereka adalah kelas buruh dan orang-orang yang hidup dari ketrampilan tanggannya. Setelah sexisme dan rasisme dikutuk sebagai kesalahan moral, maka sekarang orang-orang kurang terdidik (tidak tamat universitas) menjadi satu-satunya prasangka moral yang masih bisa diterima.
Sandel menyebut hal ini sebagai meritocratic project dari kaum liberal. Ijazah universitas adalah prasyarat untuk mendapat pekerjaan layak dan martabat sosial. Orang-orang yang tanpa ijazah universitas dipandang rendah, tidak mampu mampu bersaing di pasar tenaga kerja global. Keunggulan Amerika d dunia , demikian selalu didengung-dengungkan, harus dipelihara. Dan, salah satu cara memeliharanya adalah dengan pendidikan universitas.
Pandangan ini, menurut Sandel, punya akibat terhadap berkaratnya demokrasi. Ia merendahkan nilai orang-orang tanpa ijazah, memantik prasangka terhadap orang-orang yang kurang pendidikannya, dan praktis mengeluarkan kelas buruh dari jabatan-jabatan politik yang didapat lewat jalur pemilihan.
Konsekuensinya sangat jelas. Ketika ada orang yang menjanjikan untuk mengangkat nasib kelas buruh dan kaum tak berijazah ini maka dia terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Orang itu adalah Donald J. Trump.
Sementara Trump sendiri sangat terdidik. Dia tamatan The Warthon School of Business, University of Pennsylvania, sebuah sekolah elit. Mantan Wakil Presiden Indoneia Boediono, pengusaha Anthony Salim (Salim Group) dan James Riady (Lippo Group) adalah sebagian elit Indonesia tamatan sekolah ini.
Trump adalah politisi yang cerdik. Dia berhasil meyakinkan kaum tanpa ijazah universitas dan tidak terdidik ini bahwa ia akan berjuang untuk mereka. Ia mengutuki orang-orang terdidik yang menjadi elitis karena meritokrasi. Itulah inti dari populisme.
Artikel ini agak kontroversial. Ada banyak hal yang bisa didiskusikan lebih lanjut. Namun paling tidak dia memberikan perspektif bahwa apa yang kita pandang sebagai 'kaum terdidik' dengan segala macam hak-hak istimewa yang melekat padanya sesungguhnya berbahaya untuk demokrasi dan berbahaya untuk kepentingan bersama.
Sandel menunjuk dengan tepat bahwa meritrokrasi menghalangi representasi kaum buruh dan kalangan yang tidak punya ijazah perguruan tinggi untuk terpilih dalam politik. Tanpa ijazah universitas, mereka dianggap tidak pantas; secara moral cacat karena ketidakmampuan untuk meraih gelar kesarjanaan, dan secara sosial inferior.
Untuk saya tulisan Sandel ini agak ironis. Sebab Trump berhasil menumpulkan rasionalitas para pemilihnya -- yang kebanyakan kaum tak berijazah universitas itu. Dia menang karena menipu, membangkitkan naluri-naluri dasar yang justru ingin dikikis oleh kaum liberal berijazah universitas yakni seksisme dan rasisme. Orang mungkin akan bertanya, bukankah terpilihnya Trump itu karena 'kebodohan' para pemilihnya?
Meritocratic project, yang dihasilkan di benteng-benteng liberal Amerika dan negara-negara Barat ini sudah menampakkan gaungnya di Indonesia. Sekalipun, menurut hemat saya, diinterpretasikan dengan cara yang sangat berlainan.
Apa yang terjadi di Indonesia adalah meritokrasi dalam perspektif terbalik. Ijazah universitas dan gelar-gelar kesarjanaan dihargai sangat tinggi bukan karena dia memberikan kredensial akademik dan memberikan stempel keahlian. Namun, gelar-gelar akademik ini lebih sebagai gelar aristokrasi (kepriyayian).

Foto: Bupati Minahasa Utara, Dr. (HC) Vonnie Anneke Panambunan, S. Th.
Sekarang ini, tidak ada pejabat publik (dan swasta juga!) yang tidak mencantumkan gelar kesarjanaannya. Bahkan gelar yang berderet-deret. Gelar itu seperti piala di atas buffet yang dipajang untuk dipandang oleh setiap tamu yang datang. Jika Anda datang ke daerah-daerah, seperti yang sering saya lakukan dua tahun terakhir ini, Anda akan melihat baliho-baliho pejabat lengkap dengan gelaran akademis yang dia sandang. Bahkan tidak jarang seorang pejabat yang setengah buta huruf (semi-illiterate) dengan gembira menyandang gelar doktor honoris causa.
Kegilaan pada gelar tidak hanya melanda kalangan pejabat publik. Ia juga terjadi di dunia akademis. Sesungguhnya tidak jarang orang memiliki kredensial akademis di dua bidang yang membuatnya menjadi doktor untuk dua bidang. Namun di Indonesia, kasusnya agak melampaui akal sehat. Ada seorang dosen memilki dua gelar doktor, 10 gelar master, dan 1 gelar kesarjanaan. Tentu berat memegang gelar sepanjang itu karena setiap kredensial akademis seharusnya diikuti dengan sumbangannya terhadap riset dan kemajuan ilmu pengetahuan yang menjadi spesialisasinya.
Esai Michael Sandel menunjukan bagaimana cacatnya penciptaan proyek meritokrasi ala liberal ini. Tentu kaum buruh dan kaum tidak berpendidikan berhak memperoleh representasi dalam politik. Khususnya jika kita menerjemahkan politik sebagai usaha untuk mencari penyelesaian atas problem-problem bersama sebagai masyarakat.
Kemampuan itu tidak harus dilewati dengan stempel pendidikan universitas. Apalagi universitas yang hanya menawarkan gelar-gelar kesarjanaan dengan kekosongan pikiran ilmiah. Setiap orang bisa berpikir, memiliki ketajaman pikiran, dan menganalisis. Orang yang paling tahu kondisi sebuah masyarakat adalah mereka yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.
Tiba-tiba saya teringat pada pemikiran seorang Marxis Italia, Antonio Gramsci, ketika dia mendefinisikan ‘intelektual organik’ yakni pemikir yang tumbuh dari masyarakatnya sendiri. Yang tidak terasing dalam tembok dan benteng ideologi universitas (liberalisme di Amerika; konservatisme agama di Indonesia).
Tirani meritokrasi, menurut saya, bisa didobrak oleh tumbuhnya intelektual organik. Persoalannya sekarang adalah mengapa dia tidak tumbuh? Apa yang menyebabkan dia tidak tumbuh? ***